Polemik Salam Lintas Agama yang Dilarang MUI Jawa Timur
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur mengimbau para pejabat tidak menggunakan salam pembuka lintas agama ketika memberi sambutan resmi. Dalam surat imbauan bernomor 110/MUI/JTM/2019, MUI meminta umat Muslim mengucapkan salam sesuai agamanya.
Ketua MUI Jawa Timur KH Abdusshomad Buchori membenarkan hal tersebut. Menurut dia, tak baik mencampuradukkan ibadah agama satu dengan yang lain. Umat muslim ketika saling bertemu mengucapkan Assalamualaikum yang artinya semoga Allah mencurahkan keselamatan pada kalian.
Sementara, agama lain punya salam dan arti yang berbeda. “Kalau gubernur Bali ya dia pakai salam Hindu. Karena salam itu ibadah, menyangkut Tuhan dan agamanya masing-masing,” kata pria yang kerap disapa Kiai Somad itu, seperti dikutip dari detikcom, Minggu (10/11).
Salam semua agama jamak dipakai sejak zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia kerap mengawali pidatonya dengan perkataan ini, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, salam kebajikan.”
Shalom atau salam sejahtera ditujukan untuk agama Kristen Protestan dan Katolik. Lalu, Om Swastiastu untuk penganut agama Hindu, artinya semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan. Namo Buddhaya artinya terpujilah Budha. Dan terakhir, salam kebajikan ditujukan bagi penganut Konghucu.
(Baca: Zainut Tauhid, Wakil Menteri Agama yang Rangkap Jabatan di MUI)
MUI tingkat pusat menyetujui imbauan larangan salam enam agama tersebut. Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas mengatakan kepada CNNIndonesia.com, ketentuan itu sudah sesuai dengan Alquran dan Alhadis. Salam ibarat doa sehingga erat dengan dimensi teologis dan ibadah.
Karena itu, menurut dia, seorang muslim harus berhati-hati dalam berdoa, jangan sampai melanggar ketentuan. “Kalau ada orang Islam dan orang yang beriman kepada Allah berdoa dan meminta pertolongan kepada selain Allah SWT maka murka Tuhan pasti akan menimpa pada mereka,” ucap Anwar.
Sosiolog keagamaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wahyudi Akmaliah menilai imbauan ini berpotensi membuat kelompok umat lain mengalamai proses marjinalisasi. Padahal, ucapan salam kepada enam agama yang sudah terjadi sekarang merupakan tradisi baik para pejabat.