Sukanto Tanoto, Taipan di Balik Lahan Ibu Kota Baru
Nama konglomerat Sukanto Tanoto muncul ke publik. Kali ini bukan kasus pajak penggelapan pajak Asian Agri tapi soal pemindahan ibu kota.
Rencana pemerintah memindahkan ibu kota ke Penajam, Kalimantan Timur, ternyata berada di konsesi lahan milik salah satu orang terkaya di Indonesia tersebut.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro membenarkan hal itu. Lahannya berada di Kecamatan Sepaku yang berstatus izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (HTI).
Pemilik HTI itu adalah PT ITCI Hutani Manunggal, yang terafiliasi dengan Asia Pasific Resources International Holding Ltd (APRIL Group). APRIL Group merupakan induk pabrik bubur kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Di atasnya ada Royal Golden Eagle Group, yang didirikan oleh Sukanto Tanoto.
Bambang mengatakan, meskipun ada kepemilikan dalam wujud hak konsesi HTI, pemerintah tetap sebagai pemilik sah lahan tersebut. Karena itu, pemerintah akan segera mencabut status konsesi ITCI Hutani Manunggal.
(Baca: Pemerintah Akan Ambil Lahan Konsesi Sukanto Tanoto untuk Ibu Kota Baru)
Bappenas telah meminta langsung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera memproses pencabutan itu. “Mudah-mudahan tidak lebih dari sebulan (prosesnya),” katanya di Jakarta, Kamis (19/9).
Ia juga menjelaskan alasan pemerintah memilih lahan itu sebagai ibu kota baru. Salah satunya, karena tidak berada dalam titik api yang memicu kebakaran hutan, bukan lahan gambut ataupun batu bara.
Statusnya yang hanya konsesi kepada swasta membuat pemerintah mudah untuk mengambil alih kapan pun. Pencabutan konsesi juga tak memberikan dampak hukum, seperti ganti rugi. Pasalnya, pemilik izin sudah paham konsekuensinya.
Bisnis Sukanto Tanoto
Menurut situs Forbes, saat ini kekayaan Sukanto Tanoto mencapai US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 18,3 triliun. Ia berada di urutan ke-25 orang terkaya di negara ini. Sulung dari tujuh bersaudara itu putus sekolah ketika berusia 17 tahun.
Pria kelahiran Belawan, Medan, Sumatera Utara, 25 Desember 1949, ini terpaksa menjadi kepala keluarga ketika ayahnya, Amin Tanoto, wafat pada 1967. Ia melanjutkan usaha keluarganya di bidang pemasok suku cadang dan jasa konstruksi, bernama Toko Motor.
Sukanto menikah dengan Tinah Bingei. Dari pernikahan ini mereka memiliki empat anak, yaitu Andre Tanoto, Imelda Tanoto, Belinda Tanoto, dan Anderson Tanoto. Anaknya yang bungsu, Anderson, saat ini meneruskan kepemimpinan Sukanto di Royal Golden Eagle (sebelumnya dikenal dengan nama Raja Garuda Mas).
(Baca: Grup Sukanto Tanoto Akui Punya Perusahaan Cangkang di Suaka Pajak)
Melalui Royal Golden Eagle, bisnis Sukanto berkembang pesat ke berbagai bidang, seperti kayu lapis, kertas, bubur kertas, sawit, dan sumber daya alam. Asian Agri merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di Asia.
Forbes mencatat, Sukanto juga memiliki Bracell Limited yang beroperasi di Brazil. Perusahaan ini merupakan produsen selulosa terbesar di dunia. Selulosa kerap dipakai sebagai bahan dasar berbagai macam produk, dari tisu bayi hingga es krim.
Namun, bisnisnya tak selalu berjalan mulus. Kasus penggelapan Asian Agri sempat membuat namanya tercemar. Kasus ini bermula dari adanya laporan penghindaran pembayaran pajak oleh 14 perusahaan di bawah Asian Agri Group kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2006.
KPK kemudian melimpahkan bukti permulaan kepada Menteri Keuangan yang lalu diserahkan ke Direktorat Jenderal Pajak pada Januari 2007. Ditjen Pajak lalu memulai proses penyidikan dengan memeriksa buku laporan keuangan 2002-2005 yang menyangkut 14 perusahaan tersebut.
Dari hasil penyidikan, praktik penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri cukup canggih, sistematis, dan terencana. “Mereka bahkan punya unit khusus yang mengatur penggelapan pajak ini,” kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rachmany pada 9 Januari 2014.
Adanya unit khusus tersebut membuktikan kalau penggelapan pajak yang mereka lakukan tergolong pidana. Nilai denda yang dijatuhkan kepada Asian Agri sebesar Rp 2,5 triliun dan sanksi administratif Rp 1,9 triliun.
(Baca: Asian Agri Banding Vonis Denda Pajak Rp 1,9 Triliun)
Sebelumnya, perusahaan Sukanto lainnya, yaitu PT Inti Indorayon Utama, mendapat tuduhan sebagai penyebab pencemaran lingkungan di wilayah Porsea dekat Danau Toba, Sumatera Utara. Pabrik bubur kertas pertama di Indonesia itu kerap terlibat konflik dengan penduduk setempat.
Namun, selama pemerintahan Soeharto, Indorayon tak pernah tersentuh hukum. Sukanto memang dekat dengan presiden kedua RI itu. Baru saat pemerintahan Presiden BJ Habibie akhirnya Indorayon berhenti beroperasi.
Lalu, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid perusahaan tutup secara permanen. Namun, saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, perusahaan hidup kembali dan berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari.
Di luar bisnis, Sukanto juga aktif dalam kegiatan sosial. Ia mendirikan Tanoto Foundation bersama istrinya pada 1981. Organisasi ini banyak bergerak dalam bidang pendidikan.