Prahara Blok Masela, Dari Polemik Kilang hingga Shell Hengkang

Sorta Tobing
6 Juli 2020, 15:01
shell hengkang dari blok masela, cadangan blok masela, inpex, skk migas, nilai proyek blok masela
Arief Kamaludin|KATADATA
Royal Dutch Shell dikabarkan hengkang dari proyek gas alam cari atau LNG Abadi Blok Masela.

Kabar Royal Dutch Shell hengkang dari proyek gas alam cari atau LNG Abadi Blok Masela muncul di berbagai media hari ini, Senin (6/7). Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membantah hal tersebut.

Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan Shell belum melepas kepemilikan sahamnya di proyek itu. Namun, perusahaan memang berniat keluar dari Blok Masela dan sedang berdiksui dengan Inpex Corporation untuk mencari mitra baru. “Sampai hari ini Shell belum hengkang ya, masih diskusi dengan Inpex dan yang lain,” kata Julius.

Advertisement

Rencana Shell keluar dari Blok Masela, menurut dia, sebenarnya sudah diutarakan beberapa bulan lalu. Penyebabnya, kondisi keuangan perusahaan tertekan di tengah pandemi corona.

Julis menilai, dengan mundurnya Shell akan berdampak besar terhadap penyelesaian proyek. SKK Migas sebelumnya sempat berhitung jika harga minyak dunia berada di level US$ 40 per barel maka akan berpengaruh pada jadwal penyelesaian blok migas itu. Pasalnya, Inpex menghitung tingkat keekonomian Blok Masela berdasarkan asumsi harga minyak berada di level US$ 60 per barel.

Inpex tetap berkomitmen mengembangkan proyek tersebut. Beberapa kegiatan seperti, pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), akuisisi lahan, dan survei masih terus berjalan di tengah pandemi corona.

(Baca: DPR Pesimistis Proyek Masela Berhasil Dikembangkan)

Blok Masela
Blok Masela (Katadata)

Polemik Kilang Blok Masela di Darat dan Laut

Pembahasan pengembangan Lapangan Abadi Blok Masela telah berjalan lebih 20 tahun. Cadangan terbukti gas bumi di lapangan yang terletak di Laut Arafuru, Maluku Utara tersebut sebesar 6,05 triliun kaki kubik (TCF). Inpex mendapatkan hak melakukan eksplorasi pada 16 November 1998 dan pemerintah memberikan waktunya selama 10 tahun.

Namun, hingga jelang tenggat waktu tersebut, eksplorasi belum selesai. Inpex mengajukan perpanjangan lagi pada 2008. Dua tahun kemudian perusahaan mendapat persetujuan pengembangan blok tersebut dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh. Skemanya adalah floating LNG (FLNG) atau kilang di laut (offshore).

Pada 2014, Inpex menemukan cadangan gas di Blok Masela ternyata sebesar 10,7 TCF. Temuan cadangan baru yang sangat besar ini mengharuskan adanya revisi proposal pengembangan (PoD) yang sudah ditetapkan sebelumnya.

(Baca: SKK Migas Sebut Proyek Masela Bisa Mundur Setahun Imbas Pandemi Corona)

Revisinya dilakukan dengan menambah kapasitas FLNG dari 2,5 juta metrik ton menjadi 7,5 juta metrik ton. Namun, revisi ini belum rampung hingga berakirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Proposal revisi PoD Blok Masela pun diajukan kembali saat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Saat itu Inpex mengajukan perubahan kapasitas FLNG dari 2,5 juta ton per tahun selama 30 tahun, menjadi 7,4 juta ton per tahun selama 24 tahun. Perubahan kapasitas FLNG ini terjadi karena cadangan yang ditemukan lapangan tersebut meningkat dari proposal awal sebesar 6,05 TCF menjadi 10,3 TCF. 

Hal tersebut malah menjadi polemik, lantaran Rizal Ramli yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman tidak setuju. Ia menilai tidak tepat memakai FLNG karena tidak meningkatkan pembangunan daerah wilayah Maluku. 

Rizal juga menilai teknologi FLNG menghabiskan investasi senilai US$ 19,3 miliar atau lebih mahal ketimbang di darat yang hanya menghabiskan US$ 14,8 miliar. Bahkan, Rizal berani mengklaim kilang akan dibangun di darat meski belum ada keputusan apapun. 

(Baca: Pandemi Corona Menyulitkan SKK Migas Gaet Pembeli Gas Blok Masela)

Pernyataan Rizal sempat membuat adanya perbedaan di tingkat pemerintah, antara dirinya dengan Menteri ESDM dan Kepala SKK Migas saat itu yakni Sudirman Said dan Amien Sunaryadi. Amien saat itu merujuk kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004.

Dalam aturan tersebut, yang berwenang menyetujui atau menolak rencana pengembangan atau plan of development (POD) suatu blok migas adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara, Menteri ESDM Sudirman Said masih menunggu arahan dari Jokowi untuk memutuskan skema pengembangan blok ini.

Pada Maret 2016 Jokowi akhirnya memutuskan pengembangan Blok Masela dengan skema onshore. Ia beralasan dua pertimbangan yang mendasari keputusan ini. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan, Febrina Ratna Iskana
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement