Pertamina & Chandra Asri, Upaya Anyar Bangun Industri Petrokimia di RI

Sorta Tobing
26 Agustus 2020, 15:06
pertamina, chandra asri, industri petrokimia
katadata/Arief Kamaludin
Ilustrasi, pabrik petrokimia. Pertamina menandatangani head of agreement (HoA) pengembangan industri petrokimia dengan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, Selasa (25/8).

PT Pertamina (Persero), melalui PT Kilang Pertamina Internasional atau KPI, menandatangani head of agreement (HoA) dengan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Kerja sama ini untuk pengembangan industri petrokimia di Indonesia sehingga dapat menekan impor.

Direktur Utama KPI Ignatius Tallaulembang dan Presiden Direktur Chandra Asri Petrochemcial Erwin Ciputra telah melakukan penandatanganan perjanjian itu kemarin, Selasa (25/08). Kedua perusahaan diharapkan dapat bekerja bersama menambal defisit kebutuhan petrokimia dalam negeri.

Selain itu, keduanya juga ingin mengambil peluang bisnis petrokiomia dalam negeri untuk dikembangkan. “Hal tersebut sesuai dengan arahan Bapak Presiden dan kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan pabrik yang menghasilkan import substitution,” ujar Nicke dalam siaran persnya.

Keputusan Pertamina menjalin kerja sama dengan Chandra Asri tidak lepas dari rekam jejaknya yang telah menjadi salah satu produsen petrokimia terbesar di Indonesia. Chandra Asri merupakan satu-satunya produsen di Tanah Air yang memiliki pemecah naphtha, memproduksi olefin (etilena, propilena), Pygas, dan C4 campuran, serta poliolefin (polietilena dan polipropilena).

Komisaris PT Chandra Petrochemical Tbk Agus Salim Pangestu mengatakan potensi bisnis petrokimia tergolong prospektif dan harus terus dieksplorasi. “Setelah ini kami dapat mulai studi kelayakan. Proyek-proyek dalam HoA ini hanya langkah awal  saja,” katanya.

Kondisi Bisnis Petrokimia Indonesia

Saat ini, posisi Indonesia dalam lansekap industri petrokimia masih sebatas pasar strategis bagi produsen petrokimia asing. Pasalnya, sektor petrokimia masih berkontribusi pada tingginya impor dan defisit necara berjalan. Menurut catatan Kementerian Perindustrian, nilai impor petrokimia mecapai US$ 20 milliar atau Rp 284 triliun pada 2019.

Presiden Joko Widodo kemudian mencoba mengakselerasi pengembangan industri petrokimia sebagai langkah menambal defisit. Neraca perdagangan seluruh bahan kimia saat ini masih defisit Rp 193 triliun, dengan nilai ekspor Rp 124 triuliun dan nilai impor Rp 137 triliun.

Di sisi lain, kebutuhan terhadap produk petrokimia dalam negeri masih sangat besar. Volume kebutuhan polyethylene, misalnya, mencapai 2,3 juta ton per tahun. Sedangkan produksinya dari dalam negeri hanya mampu memenuhi 280 ribu ton per tahun. Maka, sebesar 1,52 juta ton masih harus diimpor dari negara lain.

“Ini angka yang sangat besar sekali. Makanya kami  berikan tax holiday, tax allowance karena defisitnya masih Rp193 triliun. Untuk apa? Kalau kita bisa membuatnya, kenapa kok harus impor,” ucap Jokowi pada peresmian pabrik New Polyethylene Chandra Asri Petrochemical pada tahun lalu.

Pada 2017 dan 2018, bahan kimia masuk dalam sepuluh besar golongan barang dengan nilai impor terbesar. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan angkanya.

Halaman:
Reporter: Febrina Ratna Iskana
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...