Tiga Poin Masalah Hulu Migas dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja

Image title
12 Oktober 2020, 18:48
omnibus law, uu cipta kerja, migas, hulu migas
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Suasana aksi tolak Omnibus Law Cipta Kerja di Kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020). Aksi tersebut berujung bentrok dengan aparat kepolisian.

Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang baru rupanya meninggalkan tanda tanya. Banyak hal belum terjelaskan dengan detail, khususnya terkait klaster minyak dan gas bumi atau migas.

Dalam aturan sapu jagat itu terdapat perubahan dalam pengusahaan hulu migas. Skema kontrak yang awalnya berbentuk kerja sama kini berubah menjadi perizinan berusaha.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas tertulis kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama. Sedangkan dalam Pasal 5 UU Cipta Kerja menyebutkan kegiatan usaha migas bumi dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai perubahan pasal itu menyebabkan tiga hal yang tidak jelas. Pertama, kepada siapa nantinya izin diberikan. Apakah badan usaha milik negara (khusus/tertentu) boleh bekerja sama dengan badan usaha lain? Atau izin ini diberikan secara langsung kepada badan usaha, seperti penerapan di sektor mineral dan batu bara (minerba)?

Kedua, dalam hal keekonomian. “Keduanya menghasilkan keekonomian yang sama bagi negara dan kontraktor. Namun, dalam praktik yang lazim, izin lebih umum memakai tax dan royalti sebagai instrumen fiskalnya,” kata Pri Agung kepada Katadata.co.id, Senin (12/10).

Perizinan berusaha, menurut dia, lebih sederhana ketimbang kontrak bagi hasil cost recovery ataupun gross split. Kontrak lainnya yang tidak kalah sederhana dibandingkan izin, misalnya kontrak service yang menitikberatkan pembayaran biaya (fee) tertentu kepada kontraktor.

Ketiga, dari sisi hierarki hukum, ada perbedaan yang cukup prinsipil. Meskipun tak mutlak di dalam implementasinya di lapangan, perizinan berusaha menempatkan negara atau pemerintah sebagai pihak yang menerbitkan izin. Secara teori, pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan dan mencabutnya.

“Dengan kata lain, posisi pemberi izin secara hierarki lebih tinggi dibandingkan yang diberi izin. Sedangkan dalam kontrak, posisi kedua belah pihak relatif setara,” ucapnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...