Potensi Hilirisasi Nikel Menggusur Dominasi Ekspor Batu Bara

Image title
14 Oktober 2020, 15:13
nikel, hilirisasi nikel, batu bara, smelter, kementerian esdm
123RF.com/Chutima Chaochaiya
Produk hilirisasi nikel berpotensi menggeser batu bara yang selama ini menjadi komoditas ekspor unggulan Indonesia.

Produk hilirisasi nikel berpotensi menggeser batu bara yang selama ini menjadi komoditas unggulan Indonesia. Bank investasi dan keuangan asal Amerika Serikat, Morgan Stanley menyebut ekspornya akan naik seiring dengan peningkatan investasi yang signifikan dari perusahaan Tiongkok. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan bijih nikel terbesar di dunia.

Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total produksi nikel di dunia pada tahun lalu berada di angka 2,6 juta ton. "Secara global, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia dan menghasilkan 800 ribu ton," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono dalam webinar, Selasa (13/10).

Di posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Filipina dan Rusia dengan produksi masing-masing 420 ribu ton dan 270 ribu ton. Lalu, nomor empat adalah New Caledonia sebesar 220 ribu ton dan negara lainnya mencapai 958 ribu ton.

Realisasi ekspor bijih nikel tahun lalu mencapai 30,1 juta ton. Angka ekspor ini di bawah kuota yang ditetapkan pemerintah, yaitu 30,9 juta ton. Nilainya naik 50% dibandingkan 2018 seiring dengan peningkatan produksi.

Kementerian ESDM mencatat produksi bijih nikel tahun lalu mencapai 52,8 juta ton, naik dari tahun sebelumnya di 22,1 juta ton. Peningkatan signifikan ini terjadi karena para produsen mengolah kembali stok bijih nikel kadar rendah menjadi produk ekspor dengan kadar minimal 1,7%.

Namun, pemerintah telah menghentikan ekspor nikel mulai 1 Januari 2020. Keputusannya tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019. Pemerintah berkeyakinan hilirisasi memberi nilai tambah ketimbang menjual komoditas itu dalam keadaan mentah. Potensinya sangat besar, terutama untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba) Irwandy Arif mengatakan perkembangan hilirisasinya menunjukkan tren positif, terbukti dengan pembangunan pabrik pemurnian atau smelter yang pesat. “Tidak akan ada lagi ekspor bijih nikel. Sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang minerba, semua wajib diolah dan dimurnikan di dalam negeri,” katanya kepada Katadata.co.id.

Dalam diskusi kemarin ia menyebut hilirisasi yang berkelanjutan dan terintegrasi akan mendukung kekuatan industri dalam negeri. Tanpa itu, dunia usaha akan selalu bergantung impor bahan baku. Perekonomian menjadi rapuh dan goyah, terutama terkait pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Hilirisasi dapat membuat produk akhir negara ini menembus pasar global. "Jadi, lupakanlah ekspor bijih. Biarlah hal itu menjadi catatan sejarah pertambangan kita," kata dia

Pemerintah berencana menambah enam smelter nikel dengan menggunakan proses hidrometalurgi atau high pressure acid leaching (HPAL). Smelter HPAL ini nantinya bisa menyerap bijih nikel kadar rendah yang cadangannya cukup banyak dimiliki Indonesia menjadi berkadar tinggi.

Namun, proyek tersebut berisiko tinggi. Pertama, belanja modalnya cukup besar, bahkan lebih besar daripada rotary kiln-electric furnace RKEF. Sebagai perbandingan investasi HPAL membutuhkan biaya US$ 65 ribu per ton, sementara RKEF sekitar US$ 13 ribu per ton nikel.

Kedua, Indonesia belum menguasai teknologi itu. Mayoritas pabrik pemurnian HPAL dunia memakai teknologi dari Jepang, seperti Sumitomo dan Mitsubishi.

Ketiga, parameter proses yang rumit. Keempat, perlu pengalaman yang cukup. "Kalau melihat di seluruh dunia, ada sembilan smelter HPAL gagal. Yang suskes di Coral Bay (Filipina) dan Moa Bay (Kuba). Ini yang perlu kami pelajari," kata dia.

Enam smelter HPAL yang rencananya akan dibangun di Indonesia adalah PT Halmahera Persada Legend, PT Adhikara Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, PT Vale Indonesia, PT Huayue, dan PT QMB. Total belanja modal atau investasi dari keenam smelter HPAL tersebut mencapai US$ 5,13 miliar (sekitar Rp 75,7 triliun).

Vale Indonesia-Divestiture
Ilustrasi bijih nikel. (ANTARA FOTO/REUTERS/Yusuf Ahmad)

Efek Berantai Hilirisasi Nikel

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi berpendapat hilirisasi nikel merupakan kebijakan jangka panjang. Pemberian nilai tambah ini akan berdampak terhadap industrialisasi produk tambang tersebut. “Penerimaan negara akan menjadi lebih besar, lapangan kerja bertambah, dan kebutuhan domestik terpenuhi,” katanya.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mendorong pemerintah lebih serius dan agresif dalam kebijakan hilirisasi mineral. Ekspor bahan mentah sudah tidak perlu lagi karena manfaatnya untuk nasional menjadi lebih rendah. “Kalau Indonesia ingin menjadi negara industri pasti butuh bahan baku,” ucapnya.

Manfaat hilirisasi tak hanya dari sisi penerimaan negara. Pasalnya, penerimaan negara bukan pajak atau PNBP sektor pertambangan hanya berkisar Rp 40 triliun. Sementara, rokoknya bisa mencapai Rp 120 triliun.

Jadi, pertambangan harus dilihat sebagai dukungan industri dalam negeri dan instrumen pembangunan daerah. "Ekspor turun harus dilihat dari lapangan kerja dan kegiatan ekonomi di daerah, bukan pendapatan negara semata," kata dia.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...