Dalih Berulang Freeport Soal Lambannya Pembangunan Smelter

Image title
15 Oktober 2020, 18:29
smelter freeport, inalum, mind id, kementerian esdm
123RF.com/Thodonal
Ilustrasi. PT Freeport Indonesia menyebut pembangunan fasilitas pemurnian mineral atau smelter tembaga yang sedang dikerjakan sebagai proyek yang merugikan.

PT Freeport Indonesia lagi-lagi mengeluh. Pembangunan fasilitas pemurnian mineral atau smelter tembaga yang sedang dikerjakannya disebut sebagai proyek yang merugikan. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini mengklaim bakal menanggung rugi mencapai US$ 300 juta per tahun (sekitar Rp 4,4 triliun).

Kondisi ini terjadi lantaran rendahnya biaya perawatan dan pemurnian alias treatment charge and refining charge (TCRC) sebagai penghasilan utama pabrik itu. Smelter yang Freeport bangun, nilai TCRC-nya berkisar di US$ 26 sen per pound. Prediksinya, hingga 2030 angkanya tidak akan mengalami kenaikan.

Padahal, dengan biaya investasi US$ 3 miliar seharusnya angka TCRC-nya di US$ 52 sen per pound. "Sehingga ada loss sekitar US$ 26 sen. Kalau dihitung dengan produksi, setara dengan US$ 300 juta per tahun," kata Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas, Rabu (14/10).

Awal hitungan perusahaan, pembangunan pabrik pemurnian tersebut memang menjanjikan. Namun, ketika kapasitas smelter tembaga dunia sudah melebihi dari konsentrat, nilai TCRC pun semakin rendah. Biaya perawatan dan pemurnian dari tahun ke tahun pun tidak mengalami perubahan signifikan. “Selisih TCRC itu ditanggung penambang,” ujarnya.

Pemerintah Tak Tegas Hadapi Freeport

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan untuk membangun smelter memang memerlukan dana yang cukup besar. Karena itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batu bara (minerba) memberikan waktu lima tahun bagi Freeport untuk mempersiapkan diri.

Lalu, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 memberikan waktu tiga tahun kepada perusahaan untuk menyelesaikan komitmennya. Freeport lalu mendapat waktu lima tahun lagi sesuai PP Nomor 1 Tahun 2017. Tapi sampai sekarang proyek itu baru selesai sekitar 5% saja. "Artinya, pemerintah telah memberi Freeport waktu yang panjang," kata dia.

Pembangunan smelter, menurut dia, bukan persoalan jangka pendek tapi sebaliknya. Ada isu kedaulatan sumber daya alam Indonesia di dalamnya. Selama ini pertambangan hanya menjadi bisnis jual beli ore atau bahan mentah saja. Dengan hilirisasi melalui smelter, komoditas tambang akan mendapatkan nilai tambah.

Freeport kerap kali ingkar janji atas komitmennya membangun smelter. Dalihnya tak pernah jauh dari soal keekonomian proyek. Padahal, kewajiban itu sudah tertuang dalam Pasal 10 Kontrak Karya Freeport pada 1991.

Pemerintah pun sudah memberikan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus atau IUPK kepada perusahaan sebelum kontrak berakhir di 2022. Perpanjangan hingga 2041 diberikan dengan catatan Freeport menyelesaikan pabrik pemurnian yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur itu.

Dengan kondisi itu, Ahmad Redi berpendapat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terlalu lemah menghadapi Freeport. "Harus ada ketegasan dari pemerintah agar proyek ini terbangun," kata dia.

Ia pesimistis pabrik pemurnian itu dapat rampung pada 2023, sesuai komitmen perpanjangan IUPK. Bahkan sekarang setelah UU Minerba berubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, alasan keekonomian masih terdengar. "Masalahnya ada di pemerintah yang tidak konsisten dan konsekuen atas kebijakannya sendiri, ditambah komitmen Freeport yang setengah hati," ujarnya.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin memberi sinyal untuk mendesak Freeport menyelesaikan pembangunan smelter. "Bangun smelter di JIIPE (Java Integrated Industrial and Port Estate)," kata dia singkat kepada Katadata.co.id.

Persoalan smelter tersebut memberi kesan Freeport dapat mendikte pemerintah. Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan alasan berulang itu tidak tepat. Freeport sudah membuat studi kelayakan. Artinya, keekonomian dapat tercapai.

Dalihnya semakin tidak logis ketika perpanjangan kontrak sudah didapat tapi masih menyebut proyek smelter tidak ekonomis. "Jangan-jangan ada pihak yang berbohong, apakah pemerintah atau freeport," kata dia.

Secara konsep, dia mendorong agar pengolahan dan penambangan harus dipisah. Dua bisnis tambang dan smelter memiliki risiko berbeda. Kalau bisnisnya digabung, maka keekonomian proyek dapat turun.

Dia pun mempertanyakan sikap pemerintah yang selalu memaksa Freeport membangun smelter. Padahal, perusahaan berulang kali mengatakan tidak ekonomis. Di sisi lain banyak pengusaha nasional yang ingin membangun smelter tapi Freeport dan pemerintah tidak mau menjamin konsentratnya. Akhirnya, kewajiban dibebankan ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) atau MIND ID.

Pemerintah perlu mengultimatum Freeport yang selalu berkelit dengan alasan-alasan pragmatis. Apabila tidak bisa membangun smelter, maka sebaiknya pengusaha nasional atau swasta lain yang membangunnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...