Transisi Energi dalam Kepungan Kontrak dan Proyek Energi Fosil
Pemerintah berencana memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk mempercepat transisi energi fosil ke bahan bakar ramah lingkungan. Pengembangan energi baru terbarukan atau EBT saat ini risikonya lebih kecil ketimbang bahan bakar beremisi tinggi karena harga minyak sedang jatuh.
Targetnya, bauran energi di Indonesia dapat menyentuh 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Realisasinya saat ini baru mencapai 10%. Tumpuan untuk mencapai target itu mayoritas dari pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar energi bersih, seperti panas bumi, air, angin, dan sinar matahari.
Angkanya terbilang kecil karena berbagai negara di dunia saat ini berlomba-lomba menjadi netral karbon pada 2050. Uni Eropa yang pertama kali melakukannya. Lalu, Jepang dan Korea Selatan menempuh langkah serupa pada akhir Oktober 2020. Bahkan, Tiongkok sebagai negara penghasil emisi terbesar dunia, berjanji bebas karbon di 2060.
Urusan transisi energi, Manajer Kampanye Iklim Eksekutif Nasional WALHI Yuyun Harmono menilai Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Pemerintah justru sibuk dengan proses pencarian cadangan migas melalui kegiatan eksplorasi untuk mencapai target 1 juta barel minyak per hari di 2030. Produksi batu bara pun terus meningkat.
Komoditas fosil ada peta jalannya. Tetapi soal transisi tidak pernah ada. Komitmen pemerintah semakin dipertanyakan setelah pada awal pekan ini memberikan perpanjangan kontrak tambang batu bara anak usaha Grup Bakrie, PT Arutmin Indonesia.
Perpanjangan kontrak itu bahkan untuk 10 tahun ke depan. “Banyak daftar perusahaan batu bara lainnya akan memerpanjang kontrak, harusnya sudah disetop kalau kita serius mau melakukan transisi,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (6/11).
Pemerintah sebaiknya segera membuat peta jalan transisi energi untuk 10 hingga 30 tahun ke depan. “Sehingga kita bisa lihat usahanya sesuai tidak dengan peta jalan itu. Sekarang kan enggak ada,” kata Yuyun.
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat masalah utama yang terus terjadi di Indonesia adalah inkonsistensi regulasi. Contohnya, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan penurunan produksi batu bara secara bertahap. Tapi realitanya, di 2019 dan 2020 produksinya malah melonjak jauh di atas angka 2015.
Lalu, pemerintah mewacanakan transisi energi bersih melalui pembangunan pembangkit. Tapi kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara justru bertambah dua kali lipat dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019-2028.
"Pemerintah juga terus membangun PLTU baru, yang akan mengunci Indonesia dalam 30 hingga 40 tahun ke depan," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (6/11).
Presiden Joko Widodo perlu meninggalkan warisan besar dalam mendukung pengembangan energi terbarukan di negara ini. “Misalnya moratorium pembangunan PLTU,” kata Tata.
Vietnam saja, menurut dia, dapat melakukan itu. Negara berpenduduk 96,2 juta orang itu memiliki pembangkit tenaga matahari 5 gigawatt (GW). Sementara, Indonesia sekarang hanya 112 megawatt (MW). Apabila dibandingkan Thailand, Filipina, dan Malaysia, negara ini semakin jauh tertinggal.
Presiden menjadi kunci untuk mendorong transisi energi. Posisinya tepat untuk menetapkan target dan visi ambisius serta melakukan sinergi dengan kementerian dan badan usaha milik negara (BUMN). Dengan begitu sektor swasta ikut terdorong dan pola piker masyarakat pun berubah.
Potensi energi terbarukan dari surya, melansir data Kementerian ESDM, mencapai 200 gigawatt. Namun, realisasinya baru dipakai 0,07%. Dengan kondisi itu, Tata belum melihat keseriusan pemerintah sehingga berbahaya bagi masa depan ketahanan energi dan upaya mengatasi perubahan iklim. “Kita belum on the right track untuk transisi energi,” ucapnya.
Transisi Energi RI Dinilai Terlalu Lama
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat pemerintah belum sepenuhnya ingin melakukan transisi energi. Dalam hitungannya, Indonesia dapat mencapai target di 2050 apabila ada akselerasi pengembangan energi terbarukan.
Nah, transisi itu membutuhkan syarat penghentian pembangunan PLTU setelah 2025 dan melakukan fase keluar dari pembangkit batu bara berusia di atas 20 tahun setelah 2029. Kalau hal ini dilakukan, maka bauran energi dapat mencapai angka 66% hingga 70% di 2050.
Emisi gas rumah kaca dapat terpangkas menjadi 600 juta ton karbondioksida di 2050. Sektor kelistrikan berkontribusi sekitar 100 juta ton.
Dengan model kebijakan sekarang dan berlanjut hingga 2050, emisi karbon dari sektor energi dapat mencapai 1.400 juta ton di 2050. Sebanyak 40% dari jumlah itu berasal dari sektor kelistrikan.
Harapannya, pemerintah dapat mengakselerasi pemakaian EBT sehingga dekarbonisasi di sektor kelistrikan berpeluang terjadi di 2050 hingga 2060. Dengan begitu, sektor energi dapat bebas karbon pada 2070. “Ini sebenarnya terlalu lama dan tidak sejalan dengan Kesepakatan Paris,” ucap Fabby.
Dekarbonisasi juga harus dipercepat di sektor transportasi melalui penyediaan bahan bakar rendah karbon dan mobil listrik alias electric vehicle (EV). Saat ini, menurut dia, program elektrifikasi kendaraan masih lambat dan diproyeksi terakselerasi setelah 2025.
Sebagai informasi, Kesepakatan Paris merupakan persetujuan sekitar 190 negara dunia untuk menurunkan emisi karbon dan mencegah perubahan iklim. Targetnya, laju peningkatan temperatur global dapat tertahan hingga di bawah 2 derajat Celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri.
Seluruh negara juga sepakat menahan batas perubahan temperatur hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius. Aksi ini mulai berlaku pada 2020. Untuk Indonesia, pemerintah berkomitmen menurunkan emisi karbonnya sebesar 29 persen dengan usaha sendiri pada 2030 dan 41% dengan bantuan internasional.
Peran Energi Fosil Tetap Krusial?
Transisi energi di Indonesia, menurut pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, tidak bisa meniadakan peran energi fosil. Proses perubahan ini lebih ke arah persiapan dan membuat energi terbarukan sebagai komplemen energi fosil. “Keduanya tetap ada dan diperlukan,” ucapnya.
Sesuai kebijakan energi nasional, pada 2030 hingga 2040, fosil masih berperan penting. Minyak, gas bumi, dan batu bara pemakaiannya tetap mayoritas, di kisaran 60%. Dengan porsi pemakaian EBT yang lebih besar, angkanya dapat turun menjadi sekitar 40% hingga 50%.
Pri Agung melihat posisi Indonesia tetap sejalan dengan transisi energi global. Pemerintah sebaiknya tetap melakukannya sesuai dengan sumber daya alam yang negara ini miliki. “Sebaiknya tidak latah dengan mengekor kebijakan negara lain begitu saja,” katanya.
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai upaya Kementerian ESDM dalam mengejar target 1 juta barel per hari masih beriringan dengan peta jalan transisi energi Indonesia. Peran fosil masih penting karena selama ini impor minyak mencapai hampir 1 juta barel per hari karena produksi di lapangan domestik hanya berkisar 700 ribu barel per hari.
Porsi minyak bumi diproyeksi bakal terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Selain untuk bahan bakar, emas hitam juga untuk bahan baku industri. Banyak industri petrokimia yang masih bergantung pada bahan baku migas. “Jadi, tidak perlu khawatir dengan target produksi 1 juta barel karena penggunaan energi terbarukan pun akan naik,” ucapnya.