Transisi Energi dalam Kepungan Kontrak dan Proyek Energi Fosil

Image title
6 November 2020, 18:58
energi baru terbarukan, emisi karbon, perubahan iklim, kementerian esdm
123RF.com/varijanta
Ilustrasi. Pemerintah dianggap inkonsisten dalam kebijakan transisi energi fosil ke terbarukan.

Pemerintah berencana memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk mempercepat transisi energi fosil ke bahan bakar ramah lingkungan. Pengembangan energi baru terbarukan atau EBT saat ini risikonya lebih kecil ketimbang bahan bakar beremisi tinggi karena harga minyak sedang jatuh.

Targetnya, bauran energi di Indonesia dapat menyentuh 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Realisasinya saat ini baru mencapai 10%. Tumpuan untuk mencapai target itu mayoritas dari pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar energi bersih, seperti panas bumi, air, angin, dan sinar matahari.

Advertisement

Angkanya terbilang kecil karena berbagai negara di dunia saat ini berlomba-lomba menjadi netral karbon pada 2050. Uni Eropa yang pertama kali melakukannya. Lalu, Jepang dan Korea Selatan menempuh langkah serupa pada akhir Oktober 2020. Bahkan, Tiongkok sebagai negara penghasil emisi terbesar dunia, berjanji bebas karbon di 2060.

Urusan transisi energi, Manajer Kampanye Iklim Eksekutif Nasional WALHI Yuyun Harmono menilai Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Pemerintah justru sibuk dengan proses pencarian cadangan migas melalui kegiatan eksplorasi untuk mencapai target 1 juta barel minyak per hari di 2030. Produksi batu bara pun terus meningkat.

Komoditas fosil ada peta jalannya. Tetapi soal transisi tidak pernah ada. Komitmen pemerintah semakin dipertanyakan setelah pada awal pekan ini memberikan perpanjangan kontrak tambang batu bara anak usaha Grup Bakrie, PT Arutmin Indonesia.

Perpanjangan kontrak itu bahkan untuk 10 tahun ke depan. “Banyak daftar perusahaan batu bara lainnya akan memerpanjang kontrak, harusnya sudah disetop kalau kita serius mau melakukan transisi,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (6/11).

Pemerintah sebaiknya segera membuat peta jalan transisi energi untuk 10 hingga 30 tahun ke depan. “Sehingga kita bisa lihat usahanya sesuai tidak dengan peta jalan itu. Sekarang kan enggak ada,” kata Yuyun.

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat masalah utama yang terus terjadi di Indonesia adalah inkonsistensi regulasi. Contohnya, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan penurunan produksi batu bara secara bertahap. Tapi realitanya, di 2019 dan 2020 produksinya malah melonjak jauh di atas angka 2015.

Lalu, pemerintah mewacanakan transisi energi bersih melalui pembangunan pembangkit. Tapi kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara justru bertambah dua kali lipat dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019-2028.

"Pemerintah juga terus membangun PLTU baru, yang akan mengunci Indonesia dalam 30 hingga 40 tahun ke depan," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (6/11).

Presiden Joko Widodo perlu meninggalkan warisan besar dalam mendukung pengembangan energi terbarukan di negara ini. “Misalnya moratorium pembangunan PLTU,” kata Tata.

Vietnam saja, menurut dia, dapat melakukan itu. Negara berpenduduk 96,2 juta orang itu memiliki pembangkit tenaga matahari 5 gigawatt (GW). Sementara, Indonesia sekarang hanya 112 megawatt (MW). Apabila dibandingkan Thailand, Filipina, dan Malaysia, negara ini semakin jauh tertinggal.

Presiden menjadi kunci untuk mendorong transisi energi. Posisinya tepat untuk menetapkan target dan visi ambisius serta melakukan sinergi dengan kementerian dan badan usaha milik negara (BUMN). Dengan begitu sektor swasta ikut terdorong dan pola piker masyarakat pun berubah.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement