Menimbang Efek Berantai dan Ongkos Besar Gasifikasi Batu Bara

Image title
11 November 2020, 14:56
hilirisasi batu bara, gasifikasi batu bara, omnibus law, uu cipta kerja, uu minerba, ptba, bukit asam, elpiji
Kristaps Eberlins/123RF
Ilustrasi. Proyek gasifikasi batu bara dianggap terlalu mahal untuk menggantikan impor elpiji.

Program hilirisasi batu bara mulai memantik kontroversi. Proyek gasifikasi yang mengubah batu bara menjadi dimethyl ether atau DME itu dianggap tidak cocok sebagai bahan bakar pengganti liquefied petroleum gas alias elpiji.

Studi lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menyimpulkan proyek itu terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Hitungannya, biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.

Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji.

Karena itu, peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Lembaga itu memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.

Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan implementasi gasifikasi batu bara sesuai dengan arahan pemerintah. “Kami membangun industri gasifikasi ini dengan lebih dahulu melakukan studi kelayakan yang jadi dasar untuk mengerjakan proyek," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (11/11).

Pabrik gasifikasi batu bara itu bakal terletak di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Perusahaan dengan kode efek PTBA itu telah melakukan kesepakatan bisnis bersama Pertamina dan Air Products and Chemicals Inc asal Amerika Serikat pada bulan ini.

Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Apollonius Andwie C menyebut persiapan konstruksinya akan berlangsung pada awal 2021 dan pabrik beroperasi pada triwulan kedua 2024. Proyek hilirisasi ini merupakan mandat Presiden Joko Widodo dan bagian proyek prioritas dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020.

Pembangunan gasifikasi batu bara menjadi DME targetnya dapat mendatangkan investasi sebesar U$ 2,1 miliar atau setara Rp 32 triliun ke Indonesia. “Proyek ini juga memanfaatkan cadangan batu bara kalori rendah PTBA yang tidak dapat dijual,” kata Apollonius. Potensinya mencapai 180 juta ton selama 30 tahun.

Targetnya, pabrik gasifikasi dapat mengolah 6 juta ton batu bara per tahun untuk menjadi 1,4 juta ton DME. Pengurangan impor elpijinya mencapai 1 juta ton per tahun. “Pengurangan impor LPG itu menghemat cadangan devisa negara sebesar Rp 8,7 triliun per tahun atau Rp 261 triliun selama 30 tahun,” ucapnya.

PTBA juga menghitung dampak berganda lainnya dari proyek tersebut. Pemerintah mendapat Rp 800 miliar per tahun. Neraca perdagangan berkurang Rp 5,5 triliun per tahun. Tenaga kerja yang terserap saat tahap kontruksi mencapai 10.570 orang dan masa operasi 7.976 orang.

Dengan angka-angka itu tak heran pemerintah percaya diri memasukkan gasifikasi batu bara dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan, menurut pasal 39 undang-undang itu, perusahaan tambang yang melakukan hilirisasi dapat menerima royalti 0%.

Sebagai informasi, upaya hilirisasi batu bara merupakan program pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor dan subsidi elpiji. Selama ini elpiji 3 kilogram mendapat subsidi dari pemerintah. Jumlahnya sekitar Rp 42 triliun hingga Rp 55 triliun per tahun. Angka ini lebih besar ketimbang subsidi bahan bakar minyak, yaitu solar dan minyak tanah, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG pada 2020 telah mencapai 77,63% dari total kebutuhan nasional sebanyak 8,81 juta ton. Tanpa upaya hilirisasi batu bara, rasio angka impornya dapat naik menjadi 83,55% dari total kebutuhan 11,98 juta ton di 2024.

Proyek DME Butuh Investasi Jumbo

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengatakan laporan IEEFA menunjukkan proyek hilirisasi batu bara bukan investasi yang murah. Laporan itu mengambil contoh kasus perusahaan Tiongkok.

Biayanya menjadi mahal terutama untuk penyediaan infrastruktur pipa gas. Perusahaan itu pun akhirnya mengalami margin kotor negatif seiring dengan penurunan harga DME.

Studi kasus tersebut memang perlu dilihat dengan cermat. Namun, proposal Bukit Asam mungkin kondisinya berbeda secara ongkos produksi dan infrastruktur. “Saya cenderung melihat pengembangan DME perlu dilakukan karena batu bara Indonesia melimpah dan penggunaannya lebih ramah lingkungan,” ucapnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...