Mangkraknya Blok East Natuna Saat RI Krisis Cadangan Gas

Image title
17 November 2020, 17:01
Pengeboran minyak lepas pantai.
KATADATA
Ilustrasi. Pembangan Blok East Natuna bertahun-tahun mangkrak dan potensinya tak lagi dapat masuk dalam cadangan gas nasional.

Indonesia mengalami krisis cadangan gas bumi. Jumlahnya terus berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menyebut angkanya saat ini hanya 43,6 triliun kaki kubik (TCF).

Ia menyebut pengurangan ini terjadi karena pemerintah memutuskan mengeluarkan cadangan gas Blok East Natuna yang potensinya mencapai 46 triliun kaki kubik. Langkah ini terpaksa dilakukan karena, sesuai kesepakatan internasional, blok migas dapat masuk hitungan cadangan kalau sumber energinya terbukti dan sudah ada proyeknya.

Advertisement

Sampai sekarang pengembangan Blok East Natuna masih mangkrak. “Dia masih dalam kategori contingent resources. Jadi, belum ada proyek, belum ada buyer,” kata Tutuka dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Senin (16/11).

Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih menjelaskan sejak 2018, potensi cadangan dari blok tersebut keluar dari cadangan gas nasional. Bukan karena jumlahnya habis tapi proses pengembangan East Natuna masih terganjal keekonomian yang tinggi.

Bertahun-tahun, blok itu tak kunjung dikembangkan. Pemerintah akhirnya realistis dan hanya menghitung cadangan yang dapat diproduksi. “Dikeluarkan bukan berarti gasnya sudah tidak ada,” katanya kepada Katadata.co.id.

SKK Migas telah mengupayakan agar ada investor yang mau menggarap blok gas itu bersama Pertamina. Namun, hingga kini belum ada perusahaan yang tertarik. Skenario pengembangan dan insentif pun telah pemerintah sodorkan.

Sejak ditemukan pada 1973 oleh Agip, blok ini punya dua masalah. Pertama, lokasinya berada di laut dalam. Kedua, kandungan karbondioksida yang mencapai 70% sehingga membutuhkan teknologi mahal untuk memisahkannya dengan gas bumi.

Pengelola blok migas yang dulu bernama Natuna D-Aplha itu adalah Pertamina. Awalnya, hak kelolanya dipegang oleh Pertamina, ExxonMobil, dan PTT Exploration and Production. Namun, dua perusahaan terakhir memutuskan mundur dari konsorsium.

Rig Migas Lepas Pantai Pertamina Hulu Energi
Ilustrasi lapangan migas lepas pantai. (Katadata)

Pertamina Tak Bisa Sendirian Garap Blok East Natuna

Blok East Natuna ibarat harta karun yang tak kunjung tersentuh. Sejak penemuannya pada 1973, tak ada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang dapat menggarapnya. ExxonMobil sebagai pemegang hak kelola terlama tak mampu mengembangkan lapangan gas alam yang terletak di lepas utara Pulau Natuna.

Lokasinya berdekatan dengan Laut Cina Selatan, area yang kerap menjadi lahan sengket dengan Tiongkok. ExxonMobil mendapat hak kelola di blok itu pada 1980. Pada 2007, pemerintah menghentikan kontraknya dan menyerahkan ke Pertamina pada 2008.

Dua tahun kemudian, Pertamina dan ExxonMobil sepakat untuk menggarap East Natuna. Setahun berikutnya masuk pula Total dan Petronas. Tapi pada 2012 PTT Exploration and Production menggantikan posisi Petronas.

Konsorsium itu pun bubar di tengah jalan. Yang tersisa hanya Pertamina. Tanpa pengalaman, apalagi teknologi, tentu saja realisasinya akan sulit terwujud. Hingga akhirnya, blok migas itu mangkrak hingga saat ini.

Pertamina sempat menyatakan siap melaksanakan penugasan Kementerian ESDM dalam mengembangkan Blok East Natuna. "Langkah selanjutnya adalah penandatanganan kontrak bagi hasil (PSC) yang harapannya dapat dilakukan dalam waktu dekat," ujar Dharmawan Samsu, yang ketika itu menjabat Direktur Hulu Pertamina, pada awal 2020.

Namun, pada Agustus lalu, Pertamina memutuskan menunda pengembangan blok tersebut. Direktur Perencanaan Strategi dan Pengembangan Bisnis Subholding Hulu Pertamina John H Simamora menyebut masalah di Blok East Natuna masih sama seperti dulu.

Salah satunya terkait kandungan karbondioksida yang cukup besar. "Belum ada terobosan teknologi untuk memanfaatkan karbondioksida sebesar itu. Kami bisa dimarahin sedunia (kalau membuang langsung karbondioksida)," kata dia kepada Katadata.co.id siang tadi.

Karena itu, Pertamina masih menanti teknologi pemanfaatan gas karbon tersebut. ExxonMobil yang dulu memegang hak kelolanya pun tidak bisa menemukan solusi untuk hal ini.

John mengatakan, secara logika, pengerjaan blok sebesar itu tak bisa dilakukan Pertamina sendirian. Risikonya sangat besar. Tapi perusahaan akan tetap mengikuti arahan pemerintah. “Karena sudut pandangnya bisa berbeda. Pemerintah biasanya lebih komprehensif,” ucapnya.

Teknologi pemanfaatan karbondioksida atau CO2 sebenarnya sudah ada di industri migas. Namun, maksimum kandungannya di angka 20% hingga 30%. Caranya, dengan menginjeksi lagi gas karbon itu ke lapisan tanah yang lebih dalam lagi.

Untuk melakukan hal itu, butuh biaya yang banyak. Di sisi lain, harga gas saat ini masih murah dan banyak dipasok dari Timur Tengah. Kondisi ini membuat keekonomian proyek Blok East Natuna semakin tidak realistis. “Sekarang pasokan gas besar dari Laut Mediterania, Mesir, dan Suriname. Blok East Natuna semakin terpuruk keekonomiannya,” ucapnya.

Rig Offshore Sumur Tambakboyo-3
Ilustrasi lapangan migas lepas pantai. (KATADATA)

Tak Sekadar Insentif

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai pengembangan Blok East Natuna memerlukan lebih dari sekadar insentif. Pemerintah perlu memberi kejelasan dan kepastian tentang ke mana produksi gas akan dipasarkan, dengan harga yang kompetitif.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement