Faisal Basri Kritik Kebijakan Energi Pemerintah yang Tak Konsisten

Image title
19 November 2020, 12:38
faisal basri, energi, biodiesel, bbm, elpiji, batu bara, sawit, energi baru terbarukan
Agung Samosir|KATADATA
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengkritik program energi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tidak konsisten.

Arah kebijakan energi pemerintah menjadi pertanyaan. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan beberapa program pemerintahan Presiden Joko Widodo tampak tidak konsisten.

Misalnya, pemerintah mendorong program mandatori biodiesel dari kelapa sawit guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Di saat yang sama, ada pula program pengembangan empat kilang minyak dan pembangunan dua baru.

Advertisement

Kemudian, ada lagi rencana menggenjot proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) yang mahal biayanya sebagai substitusi elpiji. "Yang saya ingin garisbawahi adalah pemerintah maunya banyak tapi tidak jelas," kata Faisal dalam diskusi secara virtual, Rabu (19/11).

Ia juga menyorot program mandatori biodiesel yang sebetulnya hanya mengamankan dan menguntungkan segelintir taipan industri sawit. Padahal, secara nilai keekonomian dan lingkungan, program tersebut justru merugikan negara.

Pemerintah juga telah menyiapkan regulasi untuk mengamankan bisnis sawit. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menyebutkan sawit merupakan bahan bakar nabati atau biofuel satu-satunya. "Ini legitimasi untuk memperoleh dana subsidi berkelanjutan," kata dia.

Faisal juga heran pemerintah justru memberikan dana subsidi kepada para pebisnis biodiesel di tengah pandemi corona. Melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN), pemerintah memberikan dana sebesar Rp 2,78 triliun. "Apa urusannya Covid-19 dengan biofuel?" ujarnya.

Secara ekonomi, menurut dia, tidak ada kontribusi nyata pengembangan biodiesel. Meskipun dapat menekan impor solar, tapi anjloknya harga minyak mentah dunia saat ini membuat harga biodiesel menjadi lebih mahal daripada bahan bakar minyak atau BBM.

Bahkan dengan adanya program ini, Indonesia menjadi kehilangan kesempatan untuk melakukan ekspor. Hal ini membuat defisit perdagangan terus naik. Pada 2018 mencapai Rp 72,1 triliun atau US$ 5 miliar dan di 2019 sebesar Rp 85,2 triliun atau US$ 6,1 miliar. "Jadi dari tahun ke tahun defisit perdagangan bukan menurun tapi meningkat,” kata Faisal.

Pemerintah Perlu Buat Roadmap Kebijakan Energi

Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso berpendapat pemerintah sebenarnya tidak mempunyai fokus dan akhirnya tidak bisa membuat prioritas. Energi apapun bentuknya tidak dapat dilepaskan dari keekonomian dan ketersediaan sumbernya.

Pemerintah harus memprioritaskan energi murah terlebih dahulu. "Kenapa yang murah sehingga subsidinya dapat dipakai untuk hal yang lain dan menyiapkan energi yang lebih mahal," kata dia.

Ia pun pesimistis proyek gasifikasi batu bara dan biodiesel akan berhasil di kemudian hari. Selama masih dalam konteks subsidi dan ketersediaannya tidak melimpah maka semuanya hanya wacana dan coba-coba. "Minyak sawit juga dipakai untuk kosmetik dan makanan, tidak akan bisa dipakai untuk yang lebih murah, kecuali disubsidi," ujarnya.

Dikonfirmasi secara terpisah, Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai arah kebijakan energi yang tertulis dalam regulasi sebenarnya cukup jelas. Target dan sasarannya telah ditetapkan dan mengarah ke bauran energi.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement