Peluang Pengembangan Logam Tanah Jarang untuk Industri Pertahanan RI

Image title
25 November 2020, 19:27
logam tanah jarang, rare earth, timah, pertambangan, batan
Kristaps Eberlins/123RF
Ilustrasi. Indonesia memiliki potensi logam tanah jarang cukup besar di Kepulauan Riau hingga Bangka Belitung.

Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengembangkan rare earth element (REE) alias logam tanah jarang (LTJ). Komoditas tambang ini memiliki peran strategis dalam pengembangan industri pertahanan berteknologi tinggi di Tanah Air.

Pemanfaatannya di Indonesia mulai santer terdengar ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan pertemuan pada awal Juli lalu. Keduanya membicarakan mengenai potensi logam tanah jarang yang dapat dimaksimalkan.

Advertisement

Kondisi geografis Indonesia yang terletak di jalur cincin api membuat potensi keberadaan mineral itu sangat besar. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan PT Timah Tbk sedang memulai pengembangannya.

Kepala Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN) Batan Yarianto Sugeng Budi Susilo mengatakan pemerintah telah membuat kelompok kerja dalam mengembangkan rare earth. Termasuk dalam lingkup pekerjaannya adalah menginventarisasi dan eksplorasi sumber daya serta cadangan logam tanah jarang.

Dalam pokja tersebut, Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (PSDMBPB) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertindak sebagai koordinator. Logam tanah jarang biasanya ditemukan dalam mineral fosfat monasit dan xenotime.

Berdasarkan data dari PSDMBPB sumber daya bijih monasit berkisar di angka 7 miliar. Untuk logam tanah jarangnya mencapai 191,2 ribu ton. Persebaran monasit terbanyak berada di sekitar sumber timah, dari Kepulauan Riau hingga Bangka Belitung.  

Data sumber daya dan cadangan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) milik Timah, paling tidak ada sekitar 22 ribu ton monasit yang tersimpan dengan baik. Kandungan logam tanah jarang dari monasit itu mencapai 60%.

Kegiatan eksplorasi rare earth, selain di daerah sumber timah alias tin belt, telah dilakukan juga di Provinsi Riau, Tapanuli Utara (Sumatera Utara), Ketapang dan Bengkayang (Kalimantan Barat), Banggai (Sulawesi Tengah), dan Mamuju (Sulawesi Barat).

Namun, secara keseluruhan belum dapat ditentukan sumber daya dan cadangan logam tanah jarang di Indonesia. "Kegiatan eksplorasi masih perlu dilaksanakan secara intensif dan sistematis untuk mendapatkan data sumber daya dan cadangan," kata Yarianto kepada Katadata.co.id, Rabu (25/11).

TAMBANG PASIR DAN BATU SUNGAI DI GOWA
Ilustrasi penambangan mineral. (ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.)

Timah Kembangkan Potensi Logam Tanah Jarang

Sekretaris Perusahaan Timah Muhammad Zulkarnaen mengatakan pihaknya telah membangun proyek percontohan pengolahan monasit menjadi rare earth hydroxide (REOH) di Tanjung Ular, Bangka Barat sejak 2015.

Perusahaan sedang mencoba mengoptimalisasi perbaikan proses dan kualitas produknya. Proses ini Timah lakukan dengan membandingkan teknologi yang dikembangkan di Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN) Batan.

Proyek percontohan atau pilot plan tersebut nantinya akan dikembangkan sebagai pendamping rencana komersial dan menjadi acuan untuk pabrik komersial skala industri. Bersama induk usahanya, PT Indonesia Asahan Aluminium atau MIND ID, perusahaan terus melakukan upaya percepatan pengembangan rare earth.

Teknologi yang digunakan dalam pengolahan logam timah jarang sangat tertutup karena nilainya strategis secara geopolitik. Karena itu, fokus Timah sekarang adalah memilih teknologi dan penyedianya (provider).

Pemilihan teknologi itu menyangkut parameter ramah lingkungan, imbal hasil produk antara atau intermediate hingga hilir, keandalan produk yang terbukti, dan harus bankable. Kemitraan dengan perusahaan lain juga tak sebatas teknologi tapi juga sebagai offtaker produknya. "Sementara kami masih fokus kepada pekerjaan tersebut," ujarnya.

PROSES PRODUKSI TAMBANG EMAS TUMPANG PITU
Ilustrasi penambangan mineral. (ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/)

Bagaimana Regulasi Logam Tanah Jarang?

Yarianto menjelaskan regulasi pengembangan rare earth di Indonesia pada prinispnya mengikuti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang mineral dan batu bara atau UU Minerba. Namun, karena sebagian besar logam tanah jarang berada dalam mineral radioaktif (monasit) sehingga diatur pula melalui UU Ketenaganukliran.

Untuk pengembangannya, masih dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengusahaan dan Perizinan Pertambangan Bahan Galian Nuklir yang saat ini sudah selesai harmonisasi dan menunggu diundangkan.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement