Sengkarut Kinerja Surveyor dalam Tata Niaga Nikel 

Image title
18 Desember 2020, 15:07
nikel, hpm nikel, harga patokan mineral, smelter, minerba, pertambangan, kementerian esdm, PT Anindya Wiraputra Konsult, surveyor tambang
Katadata/123rf
Ilustrasi. Penambang nikel tidak puas dengan hasil kinerja salah satu surveyor yang ditunjuk Kementerian ESDM.
  • Satu surveyor kinerjanya dalam sorotan karena dianggap merugikan penambang nikel.
  • Kementerian ESDM perlu melakukan evaluasi terhadap surveyor yang telah ditunjuk.
  • Masih ada 8 perusahaan yang tak patuh harga patokan mineral nikel.

Kisruh antara penambang dengan pemilik pabrik pemurnian (smelter) soal harga patokan mineral alias HPM nikel belum tuntas. Kini, penambang menemui persoalan baru terkait kinerja penyurvei atau surveyor

Para penambang berpendapat ada perbedaaan hasil analisis antara pelabuhan muat dan bongkar. Akibatnya, penambang mengalami kerugian.

Advertisement

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APBNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan transaksi pembelian bijih nikel oleh smelter telah mengacu pada HPM. Namun, verifikasi kualitas bijih nikelnya bermasalah.

Hal ini terjadi setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjuk PT Anindya Wiraputra Konsult menggantikan surveyor yang belum terdaftar di kementerian. Kapasitas perusahaan ini, menurut Meidy, masih belum memenuhi standar pengujian. 

Hal ini pun dikeluhkan oleh para pemasok atau penambang nikel. Waktu dan hasil pengujian Anindya menuai protes. “Ada aduan, saksi dari pihak pembeli tidak dilibatkan dalam proses pengambilan sampel,” katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (18/12). 

Sebagai informasi, saat ini ada empat surveyor yang direkomendasikan Kementerian ESDM untuk transaksi jual-beli nikel. Selain Anindya, ada pula PT Superintending Company of Indonesia (Persero) alias Sucofindo, PT Carsurin, dan PT Geoservices. 

Selain masalah surveyor, penambang pun menemukan perbedaan biaya transportasi. Pemilik smelter hanya mengakomodasi biaya itu antara US$ 2 hingga US$ 3 metrik ton.

Akibatnya, penambang di Maluku, Maluku Utara, Papua, Kolaka Utara (Sulawesi Tenggara), dan Malili (Sulawesi Selatan) harus mensubsidi biaya tongkang US$ 5 sampai US$ 8 metrik ton.  

APNI pun telah mengirimkan surat aduan kepada pemerintah mengenai kondisi tersebut. Khususnya perihal permohonan pembatasan jual beli-bijih nikel dan pengawasan surveyor.

Ketua Pelaksana Tim Kerja Pengawasan Pelaksanaan Harga Patokan Mineral Nikel Septian Hario Seto mengatakan telah menerima laporan komplain terhadap pihak surveyor. Ia pun telah memanggil seluruh pensurvei untuk meminta penjelasan dan menegaskan kembali aturan yang ada di Peraturan Menteri ESDM.

Dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 sebenarnya sudah tertulis soal perbedaan hasil verifikasi surveyor dengan penambang. Apabila hal ini terjadi, maka penentuan kualitas mineral logam harus mengacu hasil pengujian pihak ketiga yang disepakati bersama sebagai wasit atau umpire

Satgas HPM Nikel masih melakukan pengawasan dan pemantauan terkait masalah ini. “Senin nanti kami rapat lagi,” ujar Seto. 

KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR NIKEL
Ilustrasi penambangan nikel.  (ANTARA FOTO/Jojon)

Perlu Sanksi Tegas Bagi Surveyor Tak Andal

Pemerintah perlu memberi sanksi berat kepada surveyor yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. “Karena ini tidak cuma merugikan penambang tapi juga masalah kepercayaan publik dan internasional,” kata Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso.

Selama ini, masalah integritas pensurvei kerap terjadi, tak hanya di pertambangan nikel. Solusi perbedaan hasil survei sebenarnya sederhana. Kedua pihak dapat menunjuk surveyor independen yang berbeda dan tidak terafiliasi untuk mengecek sampel nikel. 

Pengambilan sampel, Budi mengatakan, selalu terbagi menjadi empat bagian. Satu sampel untuk verifikasi pensurvei independen. Dua sampel lainnya masing-masing untuk pihak penjual dan pembali. Dan sampel terakhir akan disimpan sebagai arsip.

Hasil analisis surveyor independen adalah final. “Kalau ada dispute beberapa kali oleh pensurvei yang sama, maka harus diberi sanksi tegas,” ujar Budi. 

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kondisi ada surveyor yang tidak bekerja maksimal tidak dapat dipungkiri. Kadang, menurut dia, hasil analisisnya sesuai titipan pihak-pihak berkepentingan. Jadi, profesionalisme mereka banyak yang meragukan. 

Sebagai pembanding, para pengusaha sebaiknya menyediakan surveyor lain di luar daftar pemerintah. “Sehingga bisa saling mengoreksi satu sama lain,” katanya. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement