Teknologi Penyimpanan Karbon untuk Hidupkan Lagi Blok East Natuna

Image title
8 Februari 2021, 17:45
blok migas, east natuna, pertamina, carbon capture and storage, ccs, emisi karbon, perubahan iklim
123RF.com/_fla
Ilustrasi. Pertamina akan menerapkan teknologi menangkap dan menyimpan karbon atau CCS untuk Blok East Natuna.
  • Pertamina akan memanfaatkan teknologi CCS untuk East Natuna.
  • Teknologi lama yang selalu terganjal keekonomian.
  • Transportasi dan tempat penyimpanan karbon dioksidanya sangat mahal dan tidak mudah.

Wacana mengembangkan Blok East Natuna, Kepulauan Riau muncul kembali. Pertamina, sebagai operator blok migas itu, sedang mengembangkan teknologi untuk mengambil dan menyimpan karbon dioksida (CO2) alias carbon capture and storage (CCS). 

Teknologi tersebut juga menjadi upaya memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim melalui pengurangan emisi karbon. Karbon dioksida yang terkumpul nantinya dapat pula dipakai untuk menginjeksi sumur produksi untuk teknologi pengurasan minyak alias enhanced oil recovery (EOR).

Advertisement

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, dengan adanya sirkular karbon ekonomi ini maka emisi karbon dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Perusahaan pelat merah ini pun telah memulai proyek percontohan CCS di Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru (JTB), Jawa Timur.

Untuk injeksi awal, Pertamina melakukan uji coba di lapangan minyak Gundih dan Sukowati. “Kami capture, utilize, lalu injeksi ke dua lapangan ini," kata Nicke pada akhir pekan lalu dalam CNBC Indonesia Energy Outlook.

Apabila proyek ini berhasil, perusahaan akan mulai pengembangannya ke Blok East Natuna yang memiliki kandungan karbon dioksida hingga 80%. “(CO2) ini bisa kami tangkap dan manfaatkan untuk lapangan di hulu,” ujar Nicke. 

Rig Offshore Sumur Tambakboyo-3
Ilustrasi blok migas offshore.  (KATADATA)

Teknologi CCS Masih Berkutat Pada Keekonomian

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat penelitian mengenai carbon capture, utilization, and storage (CCUS) sudah cukup lama dilakukan di Indonesia. Namun, tahapannya masih sekadar riset dan pengembangan (R&D), terutama terkait pemakaian karbon dioksida untuk teknologi pengurasan minyak

Uji coba CCUS dilakukan di lapangan-lapangan migas seperti Gundih, Sukowati, Limau Niru, dan Blok Tangguh. "Yang Sukowati itu proyek Pertamina EP," ucapnya.

Pertamina telah berhasil menggunakan karbon dioksida dari CCS menjadi produk precipitated calcium carbonate (PCC). PCC dapat dimanfaatkan untuk industri kertas, cat dan polimer, makanan, minuman, dan farmasi.

Lapangan Natuna dengan potensi gas 222 triliun standar kaki kubik (TSCF) dan kandungan karbon dioksida 70% dapat memakai CCS. Namun, tantangan teknologinya adalah pada nilai keekonomian.

Banyak faktor yang menentukan nilai besaran investasinya. Tapi sejumlah studi menunjukan harga karbon dioksida dari CCS sekitar US$ 40 hingga US$ 100 per ton.

Hal serupa juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal katakan. Opsi CSS sebenarnya telah masuk pembahasan sejak tahun lalu. 

Selain masalah keekonomian ada sejumlah tantangan lain dalam pemanfaatannya. Salah satunya, logistik. Transportasi karbon dioksida untuk distribusi ke lapangan yang menerapkan EOR sangat mahal dan tidak mudah.

Selain itu, ternyata tidak semua lapangan cocok menerapkan teknologi EOR yang berulang kali disebut pemerintah dapat menggenjot produksi minyak nasional. “Jadi implementasinya pun memiliki tingkat risiko yang tidak kecil. Kebutuhan modalnya pun tidak sedikit,” ujarnya. 

Beberapa pihak, menurut Moshe, sering membicarakan EOR tapi lupa dengan risiko dan pengembalian investasinya. Yang dibutuhkan adalah teknologi yang ekonomis dalam mengolah karbon dioksida. “Saya yakin sudah ada analisis kelayakannya, seperti opsi re-injeksi CO2 ke dalam tanah," ucapnya.

Migas
Ilustrasi lapangan migas offshore. (Katadata | Dok.)

Pemerintah Disarankan Percepat Transisi EBT

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menyebut CCS sebenarnya alternatif dari dua situasi. Pertama, Indonesia masih bergantung pada  bahan bakar fosil, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.

Kedua, semakin jelas dampak dan bahaya krisis iklim. Sumber dari masalah ini mayoritas dari sektor energi, yaitu pemakaian bahan bakar fosil yang dominan di Indonesia. “CCS dalam banyak hal tidak ekonomis dan secara komersial mungkin baru tersedia di 2030,” kata Tata.

Pengembangan gas bumi, menurut dia, hanya membuat negara ini semakin terkunci dengan bahan bakar fosil. Karena itu, sebaiknya pemerintah mempercepat transisi ke energi baru terbarukan (EBT), seperti energi matahari untuk pembangkit listrik alias PLTS. “Sama-sama butuh teknologi, tapi energi surya banyak tersedia sehingga lebih ekonomis,” ucapnya. 

Sebagai contoh, teknologi CCS di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara biayanya cukup mahal. Kisarannya di Rp 17,6 miliar hingga Rp 24 miliar per megawatt, di luar biaya pembangunan pembangkit. 

Untuk mengatasi krisis iklim, pemerintah sebaiknya fokus saja pada energi baru terbarukan. Selain lebih ekonomis, sumber daya energi bersih tidak akan habis dan dapat diperbaharui. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement