Pertamina Terbitkan Surat Utang Valas Rp 26,6 T untuk Biayai Investasi
Pertamina menerbitkan obligasi global atau global bond senilai US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 26,6 triliun (asumsi Rp 14.000 per dolar AS) pada pekan lalu. Dana hasil penerbitan surat utang ini akan digunakan untuk memenuhi belanja modal (capex) dan investasi perusahaan.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan obligasinya terbagi menjadi dua seri. Pertama, senilai US$ 1 miliar (Rp 14 triliun) untuk tenor lima tahun dengan kupon 1,4%.
Lalu, yang kedua nilainya US$ 900 juta (Rp 12,6 triliun) dengan tenor 10 tahun dan kupon 2,3%. "Bond-nya sudah pricing (terbit) pada Rabu lalu," ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Selasa (9/2).
Penetapan harga dari penerbitan surat utang tersebut, menurut dia, cukup bagus. Waktu penerbitannya bersamaan ketika imbal hasil atau yield dalam kondisi bergerak naik.
Selain itu, pemilihan tenor yang pendek juga membantu perusahaan mengurangi beban keuangan dari sisi bunga. “Obligasi sebelumnya, tenornya panjang-panjang," kata Emma.
Terimbas Pandemi, Pertamina Tetap Untung
Pandemi Covid-19 pada tahun lalu telah membuat konsumsi bahan bakar minyak atau BBM Pertamina turun hingga 25% dibandingkan 2019. Tapi perusahaan tak mencatat kerugian.
Pertamina tetap mencatat kinerja keuntungan yang positif. Laba bersihnya mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun. “Kami meningkatkan produktivitas hulu migas dan kilang, serta efisiensi di semua bidang,” ujar Direktur Utama Nicke Widyawati pekan lalu.
Perusahaan melakukan pemotongan biaya operasional atau opex sebsar 30%. Pertamina juga menentukan prioritas untuk anggaran dan investasinya.
Selain itu, perusahaan juga berhasil menekan biaya pokok penyediaan atau BPP. Saat harga minyak dunia anjlok tahun lalu, Pertamina membeli minyak mentah dalam jumlah besar sebagai cadangan. “Di satu sisi kami juga melakukan efisiensi luar biasa,” katanya.
Sebagai informasi, pada saat pandemi corona mulai terjadi, realisasi penyaluran subsidi energi, khususnya BBM menurun. Konsumsi melemah karena adanya pembatasan sosial berskala besar. Hingga Mei 2020, BBM yang tersalurkan, baik jenis solar maupun minyak tanah sebesar 5,8 juta kiloliter (KL).
Penyaluran subsidi BBM yang mengalami penurunan hingga ratusan ribu KL adalah minyak solar. Pasokan subsidi yang mengalami pengurangan terbesar dibanding tahun lalu terjadi di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Tahun lalu, penyaluran minyak solar mencapai 3,6 juta KL. Sementara 2020 hanya tersalurkan 3,1 KL atau berkurang sekitar 500 ribu KL.