Meramu Bentuk Baru Kontrak Kerja untuk Sektor Hulu Migas

Image title
19 Februari 2021, 15:21
kontrak karya, kementerian esdm, skk migas, migas, cost recovery
123RF.com/welcomia
Ilustrasi. Pemerintah akan mengeluarkan kontrak kerja sama baru untuk industri hulu minyak dan gas bumi (migas).
  • Kementerian ESDM berencana menghadirkan kontrak kerja baru untuk blok migas nonkonvensional. 
  • Investor meminta kontrak karya serupa dengan sektor pertambangan.
  • Para pengamat berpendapat kehadiran kontrak baru tak cukup mendongkrak investasi migas.

Pemerintah mempertimbangkan membuat kontrak kerja sama baru untuk industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Usulan ini muncul dari para investor yang meminta adanya kontrak karya serupa dengan sektor pertambangan.

Dalam kontrak karya, sistem yang berlaku adalah pajak dan royalti. Sedangkan perjanjian kerja sama migas yang ada sekarang, baik itu cost recovery maupun gross split, merupakan bagian dari kontrak bagi hasil alias production sharing contract (PSC).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan soal ini. Kepala Subdirektorat Pengawasan Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi Komar Hutasoit mengatakan jenis kontrak baru yang tengah digodok tersebut diperuntukkan untuk blok migas non konvensional. 

Supaya tidak kontradiktif dengan aturan Kementerian Keuangan, maka Kementerian ESDM masih melakukan koordinasi terkait mekanismenya. “Untuk bentuk kontrak baru masih harus menyesuaikan aturan, seperti undang-undang perpajakan,” katanya Indonesian Oil-Gas Outlook Webinar Series: Drilling & Exploration, Rabu (17/2). 

Di sisi lain, blok migas nonkonvensional di Indonesia masih sangat baru. Secara teknis, pemerintah perlu melakukan kajian lebih dalam. Satu blok jenis ini yang berpotensi menghasilkan shale gas (gas serpih) ada di Sumatera Utara. “Tapi itu juga bukan sumur pengembangan,” ucap Komar.  

Kementerian ESDM memang berencana mendorong pengembangan blok migas nonkonvensional. Salah satunya dengan fokus menggarap minyak serpih atau shale oil.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji sebelumnya mengatakan dalam pengembangan migas non konvensional pemerintah telah melakukan identifikasi potensi-potensinya. “Kami fokuskan ke shale oil," ucap dia dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM.

Potensi minyak serpih di Indonesia, menurut dia, terbilang cukup besar. Apabila digarap dengan benar, maka target produksi satu juta barel minyak di 2030 dapat tercapai. 

Hal yang sama juga pernah mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar katakan beberapa waktu silam. Potensi shale gas dan shale oil negara ini sangat besar tapi belum dimanfaatkan sama sekali.

Sedangkan Amerika Serikat sudah melakukannya sejak 2007. Produksi awalnya sekitar 4,5 juta barel minyak per hari (BOPD). Dalam waktu tujuh tahun, angkanya naik menjadi 9,5 juta barel minyak per hari. Berkat pengembangan blok nonkonvensional, kini negara adikuasa itu menyalip Arab Saudi menjadi produsen migas terbesar dunia. 

Minyak serpih, kerap disebut kerogen serpih atau bitumen padat, adalah batuan sedimen berbutir halus yang mengandung kerogen. Campuran senyawa kimia organik ini yang menjadi sumber terbentuknya hidrokarbon cair.

Shale oil didefinisikan sebagai batuan sedimen immature, berbutir halus yang mengandung sejumlah besar material organik spesifik, yaitu alginit dan/atau bituminit. Apabila material ini diesktraksi dengan cara dipanaskan lebih dari 550 derajat Celcius, maka akan menghasilkan minyak mentah bernilai ekonomis. 

Soal kehadiran kontrak kerja sama baru, SKK Migas tidak banyak memberikan tanggapan. “Kami ini lembaga pelaksana. Tentu akan mengikuti ketentuan pemerintah,” kata Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih.

TARGET PRODUKSI MIGAS 2020
Ilustrasi blok migas.  (ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar)

Cukup Dua Skema Kontrak Kerja Migas

Pengamat energi Salis S Aprilian berpendapat belum ada sistem kontrak yang lebih baik dari PSC, dengan skema cost recovery maupun gross split. Keduanya sudah cukup menjadi pilihan para investor.

Isu dasar rendahnya investasi pada sektor hulu migas sebenarnya bukan karena kebijakan fiskal. Namun, ketersediaan data, potensi sumber daya alam, dan kepastian hukum.

Apabila tersedia kajian awal yang terpercaya dan akurat, ia meyakini investor akan berhitung lebih cermat. "Apakah mereka akan menganut cost recovery atau gross split itu mudah diputuskan," kata Salis.

Cost recovery adalah pengembalian biaya operasi dari pemerintah untuk kontraktor migas. Perhitungan biayanya dimulai saat penemuan cadangan migas hingga berproduksi secara komersial. 

Databoks berikut ini menampilkan angka biaya pengembalian operasi migas sejak 2010-2017.

Pada 2016, alokasi cost recovery terbesar untuk mendukung aktivitas produksi. Angkanya mencapai 49,9% atau sebesar US$ 5,8 miliar. Secara nominal biaya ini turun dibandingkan realisasi 2015 yang mencapai US$ 6,89 miliar. Sedangkan untuk kegiatan eksplorasi dan pengembangan sebesar 15,6%.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...