Kontroversi Keluarnya Limbah Batu Bara dari Kategori Berbahaya

Image title
15 Maret 2021, 17:10
FABA, batu bara, pertambangan, beracun, berhaya, limbah, pltu, b3
123rf.com/Jeeraphun Juntree
Ilustrasi. Pemerintah mengeluarkan limbah batu bara hasil pembakaran PLTU dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
  • Izin pemanfaatan limbah batu bara dari pembangkit listrik tenaga uap telah diberikan untuk 52 lokasi.
  • Kandungan FABA disebut mengandung logam berat dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan. 
  • Pengusaha batu bara mendorong pemerintah mengeluarkan pula batu bara dari pembakaran tungku industri dari kategori berbahaya dan beracun. 

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menimbulkan kontroversi. Pemerintah mengeluarkan limbah batu bara hasil pembakaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). 

Jenis limbah yang keluar dari kategori B3 tersebut adalah fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau FABA. Para produsen batu bara menyambut positif kebijakan turunan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja itu. Limbah pembangkit kini dapat diolah untuk bahan konstruksi bangunan dan jalan. 

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyebut alasan di balik keputusan tersebut. Pertama, proses pembakaran di pembangkit menggunakan temperatur tinggi, yaitu 800 derajat Celcius. Dengan memakai batu bara kalori tinggi, pembakarannya pun menjadi sempura dan minim kandungan unburned carbon

Selain itu, dari hasil uji karakteristik yang KLHK lakukan, FABA dari pembakaran batu bara tidak memenuhi kriteria B3. "Kalau yang pakai stoker boiler industri, suhunya rendah dan pembakarannya tidak sempurna sehingga menghasilkan limbah B3," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (15/3).

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan sejauh ini, izin pemanfaatan limbah FABA telah diberikan untuk 52 lokasi. Satu lokasi terdiri dari beberapa unit PLTU.

Proses pengajuan izin pemanfaatannya berada di enam lokasi, melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) KLHK. "Ke depan kemungkinan akan semakin banyak yang mengajukan izin (pemanfaatan FABA)," ujar Rida.

Selama ini, limbah FABA hanya dibiarkan menumpuk dan menganggur. Padahal, di negara maju keberadaannya telah banyak dimanfaatkan untuk bahan baku konstruksi.

Pemanfaatakan FABA nantinya dapat dikerjasamakan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Ini yang menjadi pekerjaan jangka pendek untuk segera diselesaikan. Sudah kami bicarakan dengan teman-teman PUPR," katanya.

Kebutuhan batu bara sepanjang 2019 mencapai 97 juta ton. Potensi jumlah produksi FABA-nya mencapai 10% dari jumlah serapan batu bara atau sebesar 9,7 juta ton.

Hingga sepuluh tahun mendatang, dengan adanya program 35 gigawatt (GW), konsumsi batu bara secara nasional bisa mencapai 153 juta ton per tahun nantinya. Dari penyerapan tersebut, setidaknya potensi produksi FABA dari pengoperasian PLTU ini mencapai 15,3 juta ton.

"FABA yang awalnya kami anggap sebagai burden, kini bertransformasi menjadi berkah, dimanfaatkan berbagai pihak, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” ucap Rida.

Investigasi Batubara
Ilustrasi penambangan batu bara. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Kritik Jatam Soal Kebijakan FABA 

Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar berpendapat banyak dampak buruk yang ditimbulkan dari FABA. Limbah ini mengandung beragam partikel beracun, mulai dari arsenik, merkuri, dan kromium. Semua logam berat ini berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Apabila berterbangan di udara, FABA berpotensi mengganggu sistem saluran pernapasan manusia. Jika mengalir ke air, limbah ini dapat merusak biota laut, sungai, dan pesisir. Air yang terkontaminasi dapat berubah menjadi asam.

Contoh atas kejadian buruk tersebut, menurut Melky, cukup banyak terjadi di Indonesia. Mulai dari warga di sekitar PLTU Mpanau (Sulawesi Tengah), Cilacap (Jawa Tengah), Indramayu dan Cirebon (Jawa Barat), Celukan Bawang (Bali), Ombilin (Sumatera Barat), Muara Maung dan Muara Enim (Sumatera Selatan), Suralaya (Banten), Ropa (Nusa Tenggara Timur), Motui (Sulawesi Tenggara), dan beberapa daerah lainnya.

"Alih-alih ada penegakan hukum dan pemulihan, KLHK yang berkoar-koar mendukung FABA keluar dari kategori limbah B3, tak berbuat apa-apa," kata dia.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...