Urgensi Produksi 1 Juta Barel Minyak Untuk Kebutuhan Energi Nasional
Pemerintah masih berambisi menggenjot produksi 1 juta barel minyak per hari di 2030. Di saat bersamaan, pemanfaatan energi baru terbarukan untuk menurunkan emisi karbon juga terus berjalan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif optimistis peluang untuk mengejar target produksi siap jual atau lifting minyak masih terbuka. Potensi minyak dan gas bumi (migas) negara ini banyak belum tergarap.
“Kalau tidak melakukan apa-apa, (produksi) akan turun terus dan membuat impor naik, devisa berkurang,” katanya dalam acara peresmian Lapangan Merakes, Selasa (8/6).
Saat ini produksi minyak berkisar angka 700 ribu barel per hari. Sedangkan kebutuhannya mencapai di atas 1 juta barel per hari. Defisit produksi dan konsumsinya terlihat pada grafik Databoks berikut ini.
Sebagai substitusi impor minyak, pemerintah akan mengembangkan energi bersih, terutama untuk sektor transportasi. Sektor ini paling banyak mengonsumsi minyak.
Selain itu, Arifin menyebut pemanfaatan gas untuk transisi menuju energi rendah karbon juga akan terus didorong. “Kita masih banyak memakai bahan bakar minyak (BBM). Kami akan menggantinya dengan gas alam,” ucapnya.
Kebutuhan Minyak Bumi Terus Meningkat
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan kebutuhan BBM dalam negeri saat ini sebesar 1,4 juta barel per hari. Sementara kapasitas produksi BBM di dalam negeri baru mencapai 800 ribu barel per hari.
Jika pengembangan pembangunan kilang Balikpapan selesai, maka kapasitas produksi BBM nasional akan naik ke level 1,2 juta barel. Namun, permintaannya di 2030 akan terus meningkat, bahkan lebih dari 1,8 juta barel per hari.
Indonesia memang telah berkomitmen mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Namun, secara volume, kebutuhannya akan terus meningkat. "Karena itu, target 1 juta barel tetap dibutuhkan oleh negara," ujar dia.
Guna mengejar target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030, dibutuhkan investasi yang cukup besar. "Kami perkirakan industri hulu migas dapat menarik investasi atau Indonesia membutuhkan investasi dengan total US$ 187 miliar (sekitar Rp 2.668 triliun),” kata Dwi.
Selain menarik investasi, target tersebut juga dapat memberikan efek pengganda berupa gross revenue senilai US$ 371 miliar, dengan pendapatan negara sebesar US$ 131 miliar pada 2030. Hal ini pun akan berdampak baik bagi perekonomian nasional dan regional.
Tantangan untuk mewujudkannya dalah rumitnya perizinan, tumpang tindih peraturan antara pemerintah pusat dan daerah, dan rezim fiskal yang kurang menarik.
Berdasarkan catatan SKK Migas realisasi produksi minyak siap jual per Maret 2021 angkanya baru mencapai 676,2 ribu barel per hari (BOPD) atau 96% dari target 705 ribu BOPD. Pandemi Covid-19 membuat sebagian kegiatan hulu migas terganggu.
Temuan Migas Lapangan Maha
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat tidak ada yang salah dengan target yang ditetapkan oleh pemerintah dan SKK Migas. Indonesia memang masih memiliki potensi cekungan yang cukup besar dan belum dieksplorasi.
Harapannya, dengan target tersebut maka potensi tersebut dapat dioptimalkan. Apalagi kebutuhan BMN nasional dari tahun ke tahun terus meningkat.
Upaya peningkatan produksi menjadi 1 juta barel per hari ini merupakan upaya dalam mengurangi impor migas kedepannya. Di sisi lain, transisi energi di Indonesia tidak bisa dilakukan dalam waktu yang cepat.
Sampai Indonesia benar-benar bisa mengembangkan sumber energi baru terbarukan (EBT) secara optimal, maka energi fosil masih tetap dibutuhkan. “Pengembangan EBT masih banyak kendala dan persoalan, seperti soal harga, izin, dan lahan. Belum lagi undang-undangnya yang masih belum selesai," kata Mamit.
Untuk investasi migas, ia memperkirakan akan terus berkembang ke depannya. Apalagi pemerintah saat ini tengah menyiapkan berbagai insentif fiskal serta kemudahan berinvestasi yang akan menjadi gairah bagi investor.
Belum lagi harga minyak mentah dunia yang terus meningkat seiring mulai pulihnya ekonomi global dengan program vaksinasi virus corona. "Global juga masih bergantung dengan energi fosil ini," ujarnya.
Penemuan gas di Lapangan Maha, Wilayah Kerja West Ganal, lepas pantai Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu turut membuktikan bahwa Indonesia masih mempunyai cadangan migas yang cukup besar. "Saya pastikan ini menjadi penyemangat investasi sektor migas kita setelah sebelumnya di West Madura. Ini juga menandakan bahwa industri migas kita belum sunset," ucapnya.
Untuk diketahui, SKK Migas menargetkan rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Lapangan Maha dapat dimulai pada kuartal II tahun depan. Target ini dipatok setelah Eni, selaku operator, mengumumkan temuan cadangan minyak dan gas bumi (migas) baru di lapangan tersebut.
Eni diharapkan dapat mengajukan tahapan rencana pengembangan di tahun depan. Sehingga blok migas tersebut dapat beroperasi di 2024.
Proyek ini diperkirakan dapat menggantikan kontribusi produksi dari Lapangan Merakes setelah dua tahun mengalami puncak produksi. Dengan begitu, fasilitas produksi berupa kapal apung (floating production unit/FPU) di Lapangan Jangkrik tetap optimal.
Managing Director Eni Indonesia Diego Portoghese mengatakan, pihaknya telah membahas secara intens kelanjutan temuan lapangan tersebut dengan SKK Migas. Perusahaan juga akan bekerja sama dengan para mitra lainnya dalam menggarap potensi Blok West Ganal. "Kami akan bekerja sama dengan Pertamina. Partnership ini udah cukup kuat," kata dia.