Hanneke Schuitemaker, Peneliti HIV yang Kembangkan Vaksin Covid-19 J&J

Sorta Tobing
22 Juli 2021, 13:58
Hanneke Schuitemaker, vaksin johnson & Johnson, j&j, vaksin Covid-19, vaksin virus corona
Janssen Global Services
Hanneke Schuitemaker, peneliti vaksin Johnson & Johnson

Vaksin virus corona merek Johnson & Johnson (J&J) hanya memerlukan satu dosis vaksin untuk melawan Covid-19. Hal ini berbeda dengan merek AstraZeneca, Sinovac, Pfizer, atau Moderna yang butuh dua dosis. 

Pembuatan vaksin ini berdasarkan teknik yang J&J lakukan untuk melawan virus Ebola. Mirip pula dengan vaksin Covid-19 merek AstraZeneca, yaitu metode vektor viral atau viral vector

Bedanya adalah, vaksin J&J memakai protein spike dari virus corona. Sedangkan AstraZeneca memakai adenovirus simpanse. Sebagai informasi, spike merupakan bagian luar virus corona, yang bentuknya seperti duri. Protein inilah yang menjadi pintu masuk virus ke sel tubuh manusia. 

Vaksin  yang dikembangkan perusahaan bioteknologi Janssen Vaccines asal Belanda, anak usaha Johnson & Johnson, Amerika Serikat, ini sudah mulai digunakan di berbagai negara. Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS sudah memberikan izin pemakaian darurat pada 27 Februari llau. Uni Eropa telah memesan 400 juta dosis.

Melansir dari Reuters, perusahaan menargetkan produksinya dapat mencapai 500 juta hingga 600 juta dosis pada tahun ini. Namun, Johnson & Johnson sedang mengalami masalah kontaminasi pada pabriknya di Baltimore dan belum tahu kapan dapat berproduksi kembali. 

Perusahaan tidak dapat menyebut angka targetnya untuk tahun depan. “Terlalu dini untuk memberikan informasi spesifik tentang prosepek 2022, mengingat ketidakpastian tetang perlunya booster dan varian baru,” kata Chief Financial Officer J&J Joseph Wolk kepada CNBC, Rabu (21/7).

Untuk efektitas vaksin J&J, melansir dari situs FDA, mencapai 67% mencegah penyakit Covid-19 skala sedang hingga parah atau kritis setelah 14 hari menerima vaksin. Angkanya turun menjadi 66% untuk penyakit sedang hingga parah atau kritis usai 28 hari setelah vaksinasi. 

Kesuksesan vaksin ini tidak luput dari orang di balik pengembangannya. Nama yang sering muncul adalah Hanneke Schuitemaker, seorang virologis asal Belanda. 

Perempuan berusia 57 tahun ini menjabat sebagai Global Head of Viral Vaccine Discovery and Translational Medicine di Johnson & Johnson’s Janssen Vaccine & Prevention. Ia juga seorang profesor virologis di Universitas Amsterdam. 

Schuitemaker sudah malang melintang di dunia vaksin. Ia turut serta dalam pengembangan vaksin flu universal, HIV, vaksin respiratory syncytial virus (RSV), dan yang terbaru vaksin Covid-19.

HEALTH-CORONAVIRUS/JAPAN
Ilustrasi vaksin Covid-19. (ANTARA FOTO/REUTERS/Carl Court/Pool /hp/cf)

Profil Hanneke Schuitemaker 

Schuitemaker lahir pada 1964 di Belanda. Melansir dari berbagai media, ibunya adalah seorang akuntan dan ayahnya bekerja sebagai seorang insinyur. Dia menyelesaikan pendidikan doktor dan meraih gelar PhD Bidang patogen AIDS dari Universitas Amsterdam.

Kariernya bermula pada penelitian human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome alias HIV/AIDS pada 1989. Virus yang menyerang kekebalan tubuh ini muncul pada 1980an dan sangat mematikan ketika itu.

Schuitemaker menghabiskan 19 tahun penelitiannya tentang virus HIV di Sanquin, sebuah organisasi untuk suplai darah di Negeri Kincir Angin. Ia lalu bergabung dengan Pusat Medis Akademik di Amsterdam pada 2008. Dari sini, ia berpindah ke Crucell, sebuah perusahaan bioteknologi, sebelum akhirnya diakuisisi oleh J&J.

Halaman:

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...