Banjir Insentif dari Pemerintah untuk Membumikan Mobil Listrik
Pemerintah terlihat sungguh-sungguh menghidupkan industri mobil listrik di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyiapkan skema insentif bagi perbankan untuk menyalurkan pembiayaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV).
Fokus insentifnya adalah menggenjot industri hulu kendaraan listrik, antara lain produsen baterai, charging station, dan komponen. "OJK mendorong perbankan nasional berpartisipasi untuk pencapaian program percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBL BB)," kata Deputi Komisioner Humas dan Logistik Anto Prabowo dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat (4/9).
Sejak 1 September silam, OJK telah menyurati direksi bank umum konvensional untuk memberi dana kepada debitur pembeli kendaraan listrik ataupun kepada pengembang industri hulu. Penyaluran dana program pengembangan KBL BB ini juga mendapat pengecualian batas maksimum pemberian kredit yang dijamin oleh lembaga keuangan penjamin atau asuransi BUMN dan BUMD.
Insentif lain yang bakal diterima pelaku usaha kendaraan listrik ialah pemberian kredit dengan pagu sebesar Rp 5 miliar dan penilaian kualitas kredit yang hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok atau bunga. Ketentuan ini sejalan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Aset Bank Umum.
Terakhir, kredit pembelian KBL BB untuk perorangan atau badan usaha usaha mikro dan kecil (UMK) dapat dikenakan bobot risiko 75% dalam perhitungan aset tertimbang menurut risiko (ATMR). Penetapan bobot risiko ini tergolong rendah bila dibanidngkan dengan bobot risik kepada korporasi tanpa peringkat yang mencapai 100%.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut membenahi industri hulu mobil listrik sama artinya dengan mengambil langkah besar percepatan pengembangannya. “Untuk mengembangkan kendaraan listrik nasional saya termasuk yang paling ngotot. Karena kita tidak mau terus menerus menjadi pasar impor kendaraan,” katanya pada akhir pekan lalu.
Harga Mobil Listrik Masih Mahal
Upaya pemerintah mengerek pertumbuhan kredit mobil listrik, menurut Executive Vice President Consumer Loans Bank Mandiri Ignatius Susatyo Wijoyo, masih kecil prospeknya. Meski potensinya minim, Bank Mandiri menjadi salah satu bank yang bakal mendukung program pembiayaan program ini, termasuk rencana pemerintah memberlakukan uang muka alias DP 0% untuk pembelian mobil listrik.
Kecilnya potensi kredit ini masih bergantung pada permintaan masyarakat. Menyoal harga dari mobil listrik, menurut Ignatius, rata-rata mobil listrik berbasis baterai diproyelsikan berada di atas Rp 500 juta. Harga itu jauh lebih tinggi ketimbang harga mobi berbahan bakar fosil yang saat ini ada di pasaran.
“Dengan program DP 0%, maka NTF (Net to Finance) atau pokok hutang yang timbul, dengan asumsi asuransi, administrasi dan provisi tidak on loan (tidak ikut dihitung sebagai pokok hutang), adalah sebesar Rp500 juta, jauh di atas pembiayaan mobil yang rata-rata berada di kisaran Rp180 juta,” kata Ignatius kepada Katadata.co.id.
Semakin tinggi pokok hutang, maka cicilannya pun akan semakin besar. Dengan kata lain, potensi program DP 0% yang dicanangkan pemerintah hanya menyasar kalangan menengah ke atas saja. Skema tersebut, menurut dia, hanya akan membebankan nasabah dengan dana angsuran yang tinggi.
Selain dana, infrastruktur penunjang mobil listrik pun umumnya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Pengguna mobil listrik perlu memiliki daya listrik di atas 2.200 Volt Ampere (VA) untuk mengisi kembali daya mobil listrik yang memakan waktu hingga 12 jam.
Di sisi lain, Indonesia hanya memiliki tujuh ribu stasiun pengisian listrik umum (SPLU) di 10 kota hingga akhir 2019 lalu. “Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pihak bank maupun lembaga pembiayaan dalam mengukur risiko atas pembiayaan kendaraan listrik ini,” kata Ignatius.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan terdapat 2,73 juta kendaraan listrik roda dua dan empat pada tahun depan, dengan kebutuhan stasiun pengisian sebanyak 170 ribu unit di seluruh Indonesia. Kuantitasnya bertambah tiap tahun. Pada 2030, pemerintah memperkirakan ada 7,46 juta kendaraan listrik dengan kebutuhan stasiun pengisian mencapai 530 ribu unit, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Dalam keterangan tertulisnya kepada Katadata.co.id, Presiden Direktur PT CIMB Niaga Finance Ristiawan Suherman mencatat pertumbuhan signifikan untuk pembiayaan mobil listrik dan ramah lingkungan. Angkanya naik lebih 50% per Juli 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.
Saat ini perusahaan memberikan skema pembiayaan menarik untuk mobil listrik. "Bunga 0% untuk tenor satu tahun. Untuk tenor dua tahun ke atas, bunganya lebih kecil dari pembiayaan lain," ujarnya
Meskipun belum menentukan target pembiayaan untuk industri ini, perusahaan melihat potensinya masih besar. "Peran pemerintah hingga perusahaan listrik seperti PLN juga menjadi kunci utama agar ekosistem dan infrastruktur kendaraan listrik dapat terbangun," kata Ristiawan.
Vice President Director PT Toyota-Astra Motor Henry Tanoto melihat popularisasi kendaraan ramah lingkungan di Indonesia semakin nampak ke permukaan. Hal ini nampak dari semakin banyaknya jenis kendaraan elektrifikasi yang dipasarkan di Indonesia, mulai dari hybrid (HEV), plug-in hybrid (PHEV) maupun battery electric vehicle (BEV).
Bagi Toyota, potensi itu terlihat dari peluncuran Corolla Cross pada bulan Agustus lalu. Ada 70% Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) yang diteken untuk model elektrifikasinya. Sejak 2009 hingga semester pertama 2020, Toyota telah menjual lebih dari 2.300 unit mobil listrik di Indonesia.
Percepatan pengembangan mobil listrik bakal semakin memberikan kemudahan bagi pelaku pasar. Henry melihat ada potensi besar di Indonesia pada pengadaan transportasi ramah lingkungan ini. “Tendensi terhadap pemilihan jenis kendaraan elektrifikasi juga tumbuh baik. Harapannya, pasar semakin terbentuk dan makin mudah untuk menentukan target penjualan nya ke depan,” ucapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Head of Corporate Communication Astra International Boy Kelana melihat adanya peluang permintaan besar untuk produk hybrid dalam jangka pendek serta memandang positif rencana percepatan pengembangan mobil listrik oleh pemerintah.
“Kami berharap agar insentif dapat diberikan tidak hanya untuk produsen EV, tapi juga kepada industri komponen, terutamanya untuk produsen baterai dan industri pendukung lainnya,” ujar Boy.
Pabrikan asal Korea Selatan, Hyundai, pada awal tahun ini memasarkan mobil listrik bernama Ioniq di negara ini. Deputy Marketing Director PT Hyundai Mobil Indonesia Hendrik Wiradjaja mengatakan mobil berjenis sedan liftback itu dijual seharga Rp 569 juta dan berstatus off the road
Para pembeli harus menunggu tiga bulan untuk membeli mobil tersebut karena didatangkan secara completely build-up (CBU) dari Korea Selatan. “Ioniq sudah diperkenalkan sebelumnya. Kini kami siap melayani peminat yang ada,” kata Hendrik beberapa waktu lalu.
Pada pekan lalu, Nissan meluncurkan SUV kompak bertenaga listrik, yaitu All-New Nissan Kicks e-POWER di Indonesia pada pekan lalu. Konsumen bisa mulai memesan mobil ini dengan harga Rp 449 juta (on the road DKI Jakarta) mulai 2 September dan pengiriman ke konsumen dimulai Oktober 2020.
Perusahaan otomotif Jepang itu pun berencana menghadirkan mobil listrik LEAF ke Indonesia pada paruh pertama 2021. Peluncurannya sejalan dengan langkah perusahaan untuk fokus ke segmen kendaraan listrik. "Elektrifikasi akan menjadi salah satu fokus utama kami di Indonesia," ujar Presiden Direktur Nissan Motor Indonesia Isao Sekiguchi kepada Antara.
Perlu Insentif Lainnya untuk Mobil Listrik
Salah satu pengembangan di industri hulu kendaraan listrik yang tengah dilakukan pemerintah adalah pembangunan pabrik baterai lithium di Morowali, Sulawesi Tengah. Proyek dengan nilai investasi mencapai US$ 4 miliar atau Rp 59 triliun (kurs Rp 14.790 per dolar AS) itu akan menggandeng beberapa perusahaan otomotif multinasional, mulai dari LG, Volkswagen, hingga Mercedes Benz.
Pembangunan pabrik ini bakal memenuhi produksi 400 ribu kendaraan listrik per tahun. Pemerintah menargetkan 20% dari produksi kendaraan Indonesia pada 2025 merupakan kendaraan listrik.
Upaya pemerintah menggenjot industri mobil listrik, menurut pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu, masih belum mampu menjadikan Indonesia sebagai produsen utama sektor ini. Dengan akselerasi yang dilakukan pemerintah, pemain besar dalam bisnis mobil listrik di Indonesia akan didominasi perusahaan asing.
“Indonesia merupakan pasar yang sangat seksi bagi mereka. Lalu, kebijakan-kebijakan baru yang akan diluncurkan pemerintah juga sangat menguntungkan bagi pemain besar bisnis ini,” katanya.
Agar dilirik masyarakat, Yannes memaparkan pemerintah harus mencari celah menekan harga baterai pada mobil listrik. Harga komponen ini mencapai lebih 40% pembentuk harga kendaraan. “Pemerintah perlu mencari insentif untuk menjadikan harga baterai lebih kompetitif,” ucapnya.
Saat ini produksi baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik terkonsentrasi di empat negara, yakni Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Korea Selatan, dan Polandia. Tiongkok merupakan produsen terbesar baterai lithium ion dunia, dengan kapasitas 16,4 Gigawatt hour (GWh) pada 2016. Produksi baterai lithium-ion Tiongkok ini diprediksi akan mencapai 107,5 GWh pada 2020.
Selain itu, pemerintah perlu memberikan insentif bagi pengguna kendaraan bermotor listrik untuk mengerek permintaan. Kebijakan ini dapat berupa pengecualian dari peraturan lalu lintas, misalnya pembebasan melewati jalur ganji-genap, keringanan pajak kendaraan bermotor (PKB), hingga subsidi baterainya. “Tujuan utamanya agar menarik minat masyarakat awam membeli mobil listrik,” katanya.
Kebijakan pajak kendaraan bermotor pun perlu disesuaikan. Semakin polutif, makin tinggi pula pajaknya. Kondisi ini, menurut Yannes, dapat membuat banyak orang beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke beremisi nol karbon.
Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)