Bahaya Pasal-Pasal Omnibus Law UU Ciptaker yang Ancam Lingkungan Hidup

Image title
6 Oktober 2020, 15:28
omnibus law cipta kerja, uu ciptaker, uu cipta kerja, lingkungan, walhi, greenpeace, dpr
123RF.com/tomwang
Ilustrasi. Pasal-pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap bermasalah dan mengancam kelestarian lingkungan.

Di tengah protes masyarakat dan serikat buruh, pemerintah dan DPR tak bergeming. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dikebut dan telah sah menjadi undang-undang dalam sidang paripurna parlemen kemarin, Senin (5/10).

Pasal-pasal kontroversial bermunculan, terutama soal ketenagakerjaan. Namun, isu lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat itu pun tak kalah pelik. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi.

Advertisement

Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi mengeluarkan rekomendasi izin apapun. Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.

Tim itu terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Pemerintah pusat atau pemerintah daerah menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Keputusan ini akan menjadi syarat penerbitan perizinan berusaha dari pemerintah.

Hal ini bertolak belakang dengan aturan sebelumnya. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan. Jika tidak ada rekomendasi Amdal, maka izin lingkungan tak akan terbit.

Perubahan itu yang mendapat kritik dari sejumlah pegiat lingkungan. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika berpendapat keberadaan Amdal yang dilemahkan menjadi ancaman bagi kelestarian alam.

Apalagi, kini analisis dampak lingkungan hanya untuk proyek berisiko tinggi. Namun, dasar untuk menentukan proyek berisiko rendah atau tinggi belum terang benar aturan mainnya sampai sekarang.

DEMO TOLAK RUU OMNIBUS LAW
Aksi massa menolan Omnibus Law Cipta Kerja. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp.)

Masalah lainnya dari omnibus law itu adah proses perizinan yang tidak melibatkan peran atau partisipasi masyarakat. “Bagian ini kemudian dibatasi hanya untuk mereka yang terdampak langsung. Nah, soal terdampak langsung ini menjadi perdebatan besar,” kata Hindun kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10).

Masyarakat pun tak dapat lagi mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal dalam aturan baru tersebut. Pelemahan aturan lingkungan hidup ini, menurut Greenpeace, seharusnya tidak dilegalkan secara hukum. Pemerintah harus belajar untuk merevisi undang-undang yang memiliki urgensi sangat penting.

Jangan sampai aturan baru justru tidak menyelesaikan masalah di lapangan. “Konflik agraria dan kasus perebutan lahan hampir terjadi proyek besar. Artinya, ada masalah yang tidak selesai,” ucapnya.

UU Cipta Kerja justru menyelesaikan masalah dengan cara keberpihkan kepada investor. Wewengan korporasi saat ini menjadi lebih besar. Dan ini terjadi di tengah masyarakat yang sedang berjuang melawan krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Jumlah konflik agraria sulit diredam dari tahun ke tahun. Fluktuasi kasus ini didasari oleh kondisi agraria nasional yang tidak stabil tanpa adanya ujung penyelesaian. Akibat dari konflik agraria ini, selalu ada korban yang berjatuhan entah karena ditembak, dianiaya, maupun ditahan.

Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 659 konflik agraria yang terjadi pada 2017. Angka ini merupakan yang tertinggi selama lima tahun terakhir. Sementara itu, laju perkembangan kasus ini melonjak naik sebesar 78,67% dari 2015 ke 2016, seperti terlihat pada Databoks di bawah ini.

Konflik agraria sebagian besar dipicu oleh kebijakan pejabat publik yang berdampak luas pada dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik agraria yaitu sektor perkebunan. Pada 2018, 60% dari 144 konflik agraria di sektor perkebunan timbul pada komoditas kelapa sawit. Hal ini dikarenakan adanya praktek pembangunan dan ekspansi perkebunan di Indonesia yang melanggar hak-hak masyarakat atas tanah.

Walhi Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MK

Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono sangat menyesalkan pengesahan aturan yang disebut UU Ciptaker itu. Upaya hukum akan organisasinya tempuh, yaitu melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Beberapa poin-poin tentang perlindungan lingkungan hidup, menurut dia, harus dihapuskan. Di sisi lain, banyak deregulasi perlindungan ketenagakerjaan dan pemberian akses yang sangat mudah kepada investor. "Banyak hal yang perlu dikoreksi," ujarnya.

Angan-angan pemerintah untuk mendorong investasi, ternyata tak berkorelasi dengan peningkatan kualitas dan harapan hidup serta lingkungan. "Jadi, enggak nyambung apa yang dicita-citakan dengan realitas yang terjadi," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement