Potensi Besar Green Bond Danai Proyek Energi Terbarukan RI
Pasar green bond alias obligasi berwawasan lingkungan memiliki potensi menjanjikan di Indonesia. Pemerintah sedang giat mendorong transisi dari energi fosil ke terbarukan. Di pasar global pun pamor surat utang itu sedang meningkat. Banyak perusahaan dan investor menempatkan kelestarian alam sebagai tujuan akhir investasinya.
Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pendanaan global sedang menyasar ke investasi hijau. Kondisi ini dapat menjadi kesempatan perusahan lokal untuk bergerak di energi ramah lingkungan untuk mendapatkan dana segar. "Energi terbarukan potensinya sangat besar karena negara maju sedang concern dengan isu lingkungan," ujar dia kepada Katadata.co.id, Kamis (22/10).
Tantangan korporasi untuk menerbitkan surat utang itu adalah proses uji kelayakan atau due diligence yang panjang. Investor harus melacak apakah benar dana penerbitannya benar-benar dipakai perusahaan untuk proyek ramah lingkungan. Ada kriteria dan standar berkelanjutan pula yang harus perusahaan penuhi. “Nah, ini memang tantangannya. Tapi potensinya sangat besar,” kata Bhima.
Penerbitan green bond teranyar baru saja Star Energy Geothermal Salak dan Star Energy Geothermal Darajat II lakukan pekan lalu. Sebagai co-issuers, surat utang anak usaha PT Barito Pacific Tbk ini senilai US$ 1,11 miliar (sekitar Rp 16,3 triliun) dan mengalami kelebihan permintaan atau oversubscribed 3,5 kali.
Obligasi itu terbagi menjadi dua. Pertama, nilainya US$ 320 juta dengan kupon sebesar 3,25% berjangka waktu 8,5 tahun dan jatuh tempo pada April 2029. Kedua, nilainya US$ 790 juta dengan kupon 4,85% berjangka waktu 18 tahun dan jatuh tempo pada Oktober 2038. Penerbitannya terdaftar di Singapore Exchange Securities Trading Limited.
Perusahaan akan memakai dana penerbitannya untuk pembayaran pinjaman, pendanaan debt service reserve account (DSRA) dan major maintenance reserve account (MMRA) serta keperluan korporasi yang berkaitan operasi panas bumi di Salak dan Darajat.
Star Energy Geothermal Group adalah produsen panas bumi terbesar di Indonesia. Total kapasitasnya 875 megawatt di tiga wilayah kerja, yaitu Wayang Windun, Salak, dan Darajat.
Penerbitan Green Bond Eropa dan RI
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator, Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat obligasi hijau dapat menjadi instrumen penting untuk mendorong ekonomi berkelanjutan. Namun, ada catatan penting dalam penerbitan surat utang ramah lingkungan itu. Jangan sampai perusahaan memanfaatkannya sebagai gimmick semata.
Ia menyebut gimmick itu misalnya suatu perusahaan yang bisnis utamanya batu bara tapi melalui anak usahnya menerbitkan green bond. “Hal seperti ini yang harus dihindari,” ucapnya.
Pandemi Covid-19 sebenarnya dapat menjadi momentum untuk masuk ke investasi berorientasi lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG. Dana pemulihan ekonomi yang pemerintah butuhkan sangat besar dan dapat dialokasikan untuk mendukung proyek berkelanjutan. Contohnya, obligasi untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atau transportasi publik.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan perkembangan investasi energi ramah lingkungan beberapa tahun belakangan ini secara global cukup pesat. Hal ini tercermin dari banyaknya perusahaan membuat sustainability reporting
Sustainability reporting merupakan laporan proyek berkelanjutan suatu perusahaan. Langkah ini sebagai salah satu cara untuk mengungkapkan atau mengomunikasikan (disclose) kinerja ESG-nya secara akuntabel kepada seluruh pemangku kepentingan.
Perusahaan di Indonesia mulai membuat laporan itu. Ditambah lagi akan banyak proyek energi terbarukan berjalan. “Likuiditas global juga sedang tinggi. Prospek green bond di Indonesia terserap pasar global cukup besar,” katanya.
Eropa saat ini merupakan pasar green bond terbesar di dunia. Masuknya Jerman dalam obligasi hijau pada September lalu merupakan perkembangan paling signifikan. Dana yang berhasil dihimpun mencapai 6,5 miliar euro (sekitar Rp 113 triliun) untuk tenor 10 tahun. Angkanya melampaui target 4 miliar euro.
Melansir dari Investing.com, nilai yang fantastis itu mewakili sekitar 10% pasar obligasi hijau dunia. Jerman sekarang berada di posisi atas sebagai negara yang mengumpulkan dana dari pasar surat utang untuk proyek keberlanjutan lingkungan dan iklim.
Dengan masuknya Jerman, nilai pasar obligasi hijau diperkirakan mencapai US$ 1 triliun pada tahun depan. Angka itu sebenarnya kecil dibandingkan pasar utang secara keseluruhan.
Di Eropa, perusahaan yang ingin menerbitkan green bond harus mendapat sertifikat dari Climate Bonds Standard. Aset dan proyek yang dibiayai dari surat utang itu perlu terverifikasi dan konsisten dengan Kesepakatan Paris 2015. Poin utama kesepakatan 195 negara itu adalah menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat Celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri
Negara-negara itu, termasuk Indonesia, juga sepakat membatasi perubahan temperatur bumi hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius. Tujuan akhirnya adalah mengurangi risiko dan dampak buruk perubahan iklim.
Prancis pada tahun lalu, melansir situs Climate Bonds, mendemonstrasikan praktik obligasi hijau terbaik di Eropa. Penerbitannya memiliki rekam jejak jelas. Pelaporannya pun menunjukkan tingkat transparansi tinggi. Mayoritas pemegang obligasinya berkomitmen dengan sertifikasi Climate Bonds Standar.
Indonesia pernah menawarkan surat utang berwawasan lingkungan berbasis syariah dalam dua tenor sekaligus pada 2018. Hasilnya cukup memuaskan dengan nilai permintaan 2,4 kali lipat lebih tinggi dari penawaran. Pemerintah berhasil mengantongi US$ 3 miliar.
Dana itu untuk membiayai proyek infrastruktur terkait perbaikan lingkungan, termasuk proyek pengendalian banjir dan drainase perkotaan. Meskipun menjamin tidak ada dana untuk infrastruktur berbasis bahan bakar fosil, tapi Reuters melaporkan ada pula proyek green sukuk itu yang mencakup aspek deforestasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tahun lalu sempat mengatakan, minat investor internasional cukup tinggi terhadap obligasi berwawasan lingkungan yang diterbitkan pemerintah. Namun, penerbitannya belum tepat sasaran.
Hanya 29 % pembeli green bond yang tergolong green investor atau yang punya ketertarikan terhadap isu lingkungan dan obligasi. Mayoritas pembelinya adalah investor reguler.
Berkaca dari hal tersebut, penerbitan green bond belum sesuai tujuan awal. “Dari preferensi pembeli dan dihubungkan dengan proyeknya, obligasi hijau Indonesia belum benar-benar menggambarkan sebagai green bond,” katanya.
Di Indonesia, definisi dan penerbitan green bond mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 4 tentang penerbitan dan persyaratan efek bersifat utang berwawasan lingkungan. Untuk menarik minat investor, Sri berpendapat perlu ada penyederhanaan regulasi format kepatuhan (compliance) dan pelaporan terkait obligasi green bond.
Omnibus Law Hambat Penerbitan Green Bond
Penerbitan green bond di Indonesia berpotensi terhalang dengan munculnya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Bhima menyebut pengesahannya mengancam kelestarian lingkungan hidup.
Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja banyak merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Salah satunya tentang bergantinya Komisi Penilai Amdal (analisis dampak lingkungan) menjadi tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh pemerintah pusat.
Ada pula persoalan bergantinya izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan sebagai syarat memperoleh izin usaha. Lalu, pasal lain yang dipersoalkan terkait penghapusan upaya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila izin lingkungan dianggap bermasalah.
Dengan aturan sapu jagat itu, pihak yang melakukan usaha tanpa Amdal, upaya pengelolaan lingkungan –upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL), dan pengelolaan limbah hanya dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif juga berlaku bagi pihak yang mencemarkan lingkungan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya kesehatan, luka, dan/atau kematian.
Padahal, di UU PPLH sanksi bagi pelanggar tersebut dapat berupa pidana atau perdata. Jadi, meskipun potensi pengembangan ekonomi berkelanjutan cukup besar tapi omnibus law justru dapatmerusak lingkungan. “Investor jadi turun minatnya berinvestasi di Indonesia,” ucap Bhima.
Manajer Kampanye Iklim Eksekutif Nasional WALHI Yuyun Harmono mengatakan pemerintah tak menangkap momentum dari potensi penerbitan green bond. Hal tersebut tercermin dari disahkannya UU Cipta Kerja yang sebagian besar mengurangi perlindungan lingkungan hidup."Isu perubahan iklim sangat kuat sekali. Pemerintah kok tidak melihat itu," ujarnya.
Bahkan Tiongkok, sebagai penghasil emisi karbondioksida terbesar dunia, sudah menargetkan menjadi negara netral karbon pada 2060. Sebenarnya ini merupakan sinyal kuat, Negeri Panda akan meninggalkan produk tak ramah lingkungan, termasuk batu bara dan sawit dari Indonesia.
Pemerintah tak menangkap tren itu. “Kita malah menawarkan investor datang dengan mengurangi perlindungan lingkungan hidup, bahkan buruh,” ujar Yuyun.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri berpendapat perekonomian tidak dapat tumbuh apabila faktor lingkungan terabaikan. Pendanaan global saat ini pun sudah mengarah ke arah investasi hijau.
"Sumber dana sudah mengarah ke green. Investor mulai menghindari pembiayaan proyek atau sektor yang mengganggu lingkungan hidup," ujarnya dalam diskusi virtual Outlook Ekonomi: Peluang RI Keluar Resesi yang ditayangkan Katadata.co.id, kemarin.
Kondisi harga minyak mentah dunia yang relatif rendah sekarang dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah. Alokasi subsidi bahan bakar minyak mentah atau BBM dapat dialihkan untuk sektor kesehatan di tengah pandemi Covid-19.
Subsidi itu juga dapat dialokasikan untuk pengembangan listrik dan insentif pajak pengembangan energi terbarukan. “Menurut saya, fossil fuel (BBM) enggak bisa lagi disubsidi,” kata Chatib. Apabila pemerintah terus-menerus melakukan nya, masyarakat akan tetap mengkonsumsi BBM.