Industri Mobil Listrik di Indonesia Dibelit Tumpukan Masalah

Image title
10 November 2020, 16:50
mobil listrik, electric vehicle, luhut binsar pandjaitan, kementerian esdm, spklu, spbklu
123RF.com/Petovarga
Ilustrasi. Pemerintah sedang mempercepat pertumbuhan industri kendaraan listrik dalam negeri.

Kunjungan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ke pabrik mobil listrik Hyundai di Bekasi, Jawa Barat, pada pekan lalu memberi sinyal kuat. Pemerintah bakal mempercepat pengembangan industri kendaraan listrik. “Kami berharap Hyundai dapat menjadi bagian dari misi penting ini,” katanya, Jumat (6/11).

Pembangunan pabrik tersebut merupakan bentuk implementasi komitmen investasi Hyundai untuk mengembangkan mobil listrik Tanah Air. Penandatanganan kesepakatannya terjadi di Korea Selatan pada 26 November tahun lalu.

Targetnya, Indonesia tidak hanya mengembangkan mobil listrik untuk kebutuhan domestik, tapi juga kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah, sampai Afrika. “Indonesia akan menjadi salah satu pasar EV utama di ASEAN,” ujar Luhut.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksi jumlah kendaran listrik roda dua dan tiga di negara ini pada tahun depan mencapai 2,73 juta unit. Pada 2030, perkiraan angkanya naik lebih dua kali lipat, yaitu 7,46 juta unit, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk kendaraan listrik. Angkanya sekitar 10% hingga 20% dari total mobil penumpang yang terjual per tahun. Rata-rata jumlah kendaraan roda empat yang terjual berkisar 1 juta hingga 1,2 juta unit setiap tahun.

Namun, adaptasi kendaraan listrik masih memiliki sejumlah persoalan. Pertama, harganya masih mahal ketimbang mobil berbahan bakar minyak. Kedua, ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU yamg masih minim. Ketiga, tipe mobil yang masih terbatas. Semua itu, menurut Fabby, sangat mempengaruhi psikologis konsumen.

Idealnya, pemerintah memberikan insentif untuk produksi dan pajak kendaraan listrik. Dengan begitu, harganya dapat turun di kisaran Rp 400 juta. Sebagai perbandingan, Hyundai baru saja meluncurkan dua tipe mobil listrik di Indonesia bertipe Ioniq dan Kona yang harganya di kisaran Rp 600 jutaan.

Fabby mengatakan pemerintah sebaiknya membuat target terukur untuk kendaraan listrik. “Berikan insentif untuk konsumen yang beralih ke mobil listrik, dorong pembukaan pasar, dan dukung pembangunan fast charging station,” katanya kepada Katadata.co.id, siang tadi.

TARGET PENGADAAN SPKLU
Ilustrasi stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU. (ANTARA FOTO/Fauzan/hp.)

Posisi Rantai Pasokan RI Masih Rendah

Angin segar industri ini juga semakin terlihat dengan terpilihnya Joe Biden sebagai presiden Amerika Serikat ke-46. Dalam kampanyenya Biden berjanji akan fokus menggenjot pengembangan energi baru terbarukan atau EBT. Alokasi dananya diperkirakan mencapai US$ 2 triliun (sekitar Rp 29.175 triliun). Kebijakan yang ia usulkan termasuk percepatan industri mobil listrik.

Fabby mengatakan, jika penetrasi kendaraan listrik di AS lebih tinggi dan cepat, maka pada 2025 harga baterai listrik dapat turun di bawah US$ 100 per kilowatt hour (kWh). Saat ini harganya, menurut catatan BloombergNEF, sekitar US$ 156 per kilowatt hour. Komponen baterai berkontribusi sekitar sepertiga dari harga kendaraan listrik.

Kemenangan Biden juga membuka minat produsen mobil listrik AS berinvestasi di Indonesia. Negara ini dapat masuk dalam rantai pasokan global untuk membuat baterai dan manufaktur kendaraan EV di Asia Pasifik.

Yang perlu menjadi perhatian pemerintah untuk menangkap peluang itu adalah memberikan fasilitas dan insentif untuk investor global. “Saya kira pemerintah harus siap mengantisipasi ini dalam dua hingga tiga tahun mendatang,” kata Fabby. Jangan sampai dana besar itu malah mengalir ke Thailand dan Singapura.

Sebagai informasi, kedua negara tersebut sekarang juga berlomba memproduksi mobil listrik. Iklim investasinya sangat mendukung sehingga perusahaan otomotif Jepang dan Eropa sudah berinvestasi di sana.

Indonesia masih memiliki kesempatan merebut pasar itu. Selain memiliki bahan baku baterai, yaitu nikel, negara ini juga sudah menyiapkan industri hulunya, yaitu pabrik pemurnian (smelter) dan baterai. “Potensi pasar EV di Indonesia masih besar,” ucap Fabby.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, meskipun potensinya besar, di dalam rantai pasokan global, posisi Indonesia masih rendah. Bank Dunia menempatkan negara ini hanya sebagai pemasok wiper (pembersih kaca) dan ban karena memiliki komoditas karet. "Sisanya kita belum terlibat penuh. Masih didominasi Tiongkok, Jepang, dan Amerika. Ini menjadi tantangan kita," kata Bhima.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...