Ambisi Membangun PLTS Terapung Raksasa Demi Capai Target Bauran Energi

Image title
7 Desember 2020, 17:20
plts terapung, waduk cirata, pembangkit listrik, plta, energi baru terbarukan, ebt, kementerian esdm, pln, bauran energi
123rf.com/Rostislav Zatonskiy
Ilustrasi. PLN akan melakukan peletakan batu pertama pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS terapung terbesar di Waduk Cirata, Jawa Barat, pada 17 Desember 2020.

Ambisi pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara mulai mendapat titik terang. Pada 17 Desember nanti PLN Bakal melakukan water breaking alias peletakan batu pertama di dalam air pada proyek berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat tersebut.   

Pengerjaannya merupakan kerja sama antara anak usaha PLN, yakni PT Pembangkit Jawa Bali alias PJB, dengan perusahaan asal Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, bernama Masdar. Kapasitas pembangkitnya mencapai 145 megawatt dengan harga listriknya US$ 8,5 sen per kilowatt jam (kWh).

Advertisement

Direktur Mega Proyek PLN Iksan Asaad mengatakan harga itu sudah efisien. “Ke depan, dengan semakin masifnya teknologi, kami harapkan bisa lebih rendah lagi,” katanya dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (2/12).   

Proyek ini termasuk dalam 11 perjanjian bisnis yang berhasil pemerintah teken dengan Uni Emirat Arab usai kunjungan Presiden Joko Widodo ke Abu Dhabi pada Januari lalu. Investasi PLTS terapung ini bakal mencapai US$ 18,8 miliar atau sekitar Rp 267 triliun dan mulai dibangun pada 2021 dengan waktu pengerjaan sekitar 1,5 tahun. 

Lokasinya berdampingan dengan pembangkit listrik tenaga air atau PLTA yang kapasitasnya sempat terbesar juga di kawasan ASEAN, yaitu 1.008 megawatt. Namun, Vietnam saat ini yang memegang rekor itu dengan kapasitas PLTA di Bendungan So’n La sebesar 2.400 megawatt. 

Nah, PLTS terapung pertama di Indonesia itu akan berada di area seluas 3% dari total Waduk Cirata, yaitu 9,02 hektare. PLN nantinya akan memiliki dua sumber energi terbarukan di satu wilayah yang sama. “Ini akan menjadi PLTS terapung terbesar di dunia,” kata Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana. 

PLTS yang berada di atas di air ini sedang menjadi tren energi baru terbarukan di dunia. Keunggulannya adalah pemanfaatan sumber energi lebih optimal, menghindari pemakaian lahan di tanah, melengkapi tenaga air atau hybrid, mengurangi penguapan, dan meningkatkan hasil energi hingga 10% karena suhu pembangkit yang lebih rendah. 

Indonesia memiliki lebih dari 192 bendungan dan waduk dengan luas tangkapan 86.247 hektare. Pemanfaatanuntuk PLTS terapungnya dapat mencapai 4.300 megawatt, dengan asumsi pemakaian 5% dari daerah tangkapan air. 

Mutiara di Ujung Natuna
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS.  (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Sektor Kelistrikan Sumbang Besar Emisi Karbon

Pembangunan pembangkit energi bersih ini juga sejalan dengan keinginan pemerintah untuk melakukan bauran bahan bakar dalam rangka mengurangi emisi karbon. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, target baurannya untuk pembangkit naik dua kali lipat, dari 11,4% pada 2019 menjadi 23,2% pada 2028. 

Pemakaian bahan bakar fosil, seperti minyak dan batu bara, harapannya dapat menurun. Lalu, pembangkit-pembangkit energi baru terbarukan bertambah jumlahnya, seperti dari air, panas bumi, matahari, dan angin.

Merilis laporan Climate Transparency Report 2020, pembangkit listrik di Indonesia 63% berasal dari bahan bakar batu bara. Pertumbuhannya bahkan tertinggi dalam satu dekade terakhir. Gas alam berada di posisi berikutnya dengan kontribusi sebesar 18%. 

Pemerintah terlalu banyak memberi subsidi kepada komoditas batu bara sehingga daya saing energi terbarukan rendah. Pertumbuhannya sepanjang tahun hanya 12%, lebih rendah dari rata-rata kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia atau G20 yang berada di 27%. 

Pembangkit energi bersih terbesar adalah air dengan kontribusi 6%. Lalu, panas bumi sebesar 5,5%. Tenaga surya dan angin masih sangat kecil, tapi persentasenya tumbuh dua kali lipat di 2018 dan 2019. 

Kondisi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU yang banyak membuat kontribusi emisi karbon dari sektor kelistrikan cukup tinggi. Dalam satu kilowatt jam listrik menimbulkan emisi sebesar 804 gram karbon dioksida. Angka ini dua kali lipat dari rata-rata G20 di 449 gram karbon dioksida. Intensitas emisinya naik 10,1% dalam lima tahun terakhir karena peningkatan pemakaian PLTU.

Untuk mengurangi emisi dan mencapai target bauran energi, PLN bakal mengganti sejumlah pembangkit fosil tua dengan pembangkit energi terbarukan. Namun rencana tersebut masih menanti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2021-2030 rampung terlebih dahulu.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement