Ambisi Minim Pengurangan Emisi Karbon RI Usai 5 Tahun Perjanjian Paris

Image title
14 Desember 2020, 20:11
emisi karbon, perubahan iklim, perjanjian paris, kesepakatan paris, target emisi karbon
123rf.com/Feodora Chiosea
Ilustrasi. Perjanjian Paris telah berusia lima tahun. Target pengurangan emisi Indonesia dinilai tak ambius dalam upaya pecegahan perubahan iklim.
  • Perjanjian Paris tak cukup mencegah perubahan iklim.
  • Target emisi karbon pemerintah Indonesia dinilai tak ambius.
  • Banyak upaya pemerintah yang tak sejalan dengan Perjanjian Paris. 

Lima tahun sudah usia Perjanjian Paris pada 12 Desember 2020. Dalam perjanjian itu, sebanyak 195 negara sepakat menurunkan emisi karbonnya dalam rangka mencegah perubahan iklim. Termasuk di dalamnya adalah komitmen menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius. 

Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatangani perjanjian tersebut. Pemerintah lalu meratifikasinya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Target nasional pengurangan emisi negara ini atau nationally determined contribution (NDC) adalah 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional di 2030. 

Lantas, sejauh apa realisasinya? Katadata.co.id menghubungi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar. “Langsung saja ke Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Ruandha Agung Sugardiman” katanya, Senin (14/12). Namun, berulang kali dihubungi, Ruandha tidak memberikan respon. 

Manajer Kampanye Keadilan Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yuyun Harmono berpendapat Perjanjian Paris tak cukup mencegah perubahan iklim. Yang terjadi malah sebaliknya, yaitu kenaikan suhu bumi 3 derajat sampai 4 derajat Celcius.

Konsentrasi gas rumah kaca atau GRK dari pemakaian energi fosil secara global belum menunjukkan puncaknya dalam lima tahun terakhir. Dari 1990 sampai 2019, emisi mencapai 38 gigaton karbondioksida. Angkanya naik rata-rata 0,9% per tahun dalam satu dekade terakhir.

Pada 2020, emisi fosil menurun 7% dibandingkan tahun sebelumnya karena pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi global. “Namun, emisi karbon belum menunjukkan akan mencapai puncak dan konsisten menurun setelahnya,” tulis Yuyun dalam keterangan tertulisnya.

Laporan khusus Lembaga Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pada 2018 menunjukkan target 2 derajat Celcius tak cukup menghindari bencana iklim. Perbedaan 0,5 derajat saja dapat menyebabkan konsekuensi fatal bagi bumi.

Dampaknya akan lebih parah dirasakan kawasan di belahan bumi selatan, termasuk Indonesia. Secara geografis, negara ini sangat rentan dengan pemanasan global yang memicu kenaikan permukaan air laut. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan puluhan juta orang hidup di pesisir, risikonya menjadi berlipat ganda.

Proyeksi dari Climate Central, menurut Yuyun, setidaknya 23 juta orang Indonesia akan berdampak langsung dengan perubahan iklim. Mereka bakal menjadi pengungsi internal apabila muka air laut naik 0,6 meter sampai 2 meter di akhir abad ini. 

Kebakaran Hutan
Ilustrasi kebakaran hutan untuk pembukaan lahan. (Ulet Ifansasti / Greenpeace)

Walhi menemukan lima hal persoalan NDC negara ini. Pertama, tidak merefleksikan sains terbaru. Skenario tanpa intervensi atau business as usual tidak cukup secara global menahan suhu bumi. 

Kedua, kebijakan iklim Indonesia bertumpu sebagian besar pada sektor berbasis lahan, seperti kehutanan, lahan gambut, pertanian, dan alih fungsi lahan. Beban penurunan emisi sektor energi dibiarkan longgar. Padahal, dalam sepuluh tahun ke depan, sektor ini akan menjadi sumber emisi terbesar, melampaui sektor berbasis lahan.

Ketiga, aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia didominasi solusi palsu yang tidak menjawab akar persoalan dan melanggengkan praktek business as usual. “Solusi palsunya, seperti mengganti ketergantungan minyak bumi dengan biofuel dari sawit," kata Yuyun.

Keempat, kontradiksi kebijakan iklim dengan berbagai aturan baru. Misalnya, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minera), Undang-Undang Cipta Kerja, dan aturan lain yang mengizinkan eksploitasi lahan gambut dan alih fungsi hutan lindung untuk lumbung pangan. 

Kelima, kebijakan iklim Indonesia tidak berorientasi pada pemenuhan hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kebijakan iklim Indonesia masih menempatkan generasi muda sekadar objek, tanpa mempertimbangkan aspirasinya. “Generasi mendatang hanya akan mewarisi kerusakan bentang alam mulai dari Sumatera hingga Papua,” ujarnya.

Emisi karbon
Ilustrasi emisi karbon. (Arief Kamaludin (Katadata)

Komitmen Penurunan Emisi RI Dipertanyakan

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan target penurunan emisi pemerintah belum memadai. Hal ini pun selaras dengan penilaian Carbon Action Tracker. “Trajectory emisi Indonesia saat ini masih di sekitar kenaikan suhu 3 derajat sampai 4 derajat Celcius,” katanya. 

Fabby berpendapat pemerintah perlu lebih ambisius. Misalnya, di sektor energi penambahan bauran energi baru terbarukannya (EBT) di atas 33% pada 2030. 

Kemudian, perlu ada peningkatan efisiensi energi pada sektor bangunan gedung dan peralatan rumah tangga, terutama perangkat pendingin ruangan atau AC. Berikutnya, mesin kendaraan bermotor harus segera menerapkan standar Rendah emisi.

Pemerintah juga perlu menetapkan batasan emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU yang sudah berusia di atas 20 tahun. Berdasarkan sektornya, pembangkit listrik adalah kontributor terbesar penyumbang karbon dioksida. 

Jumlah emisinya dapat ditekan dengan  pembangkit energi terbarukan. Selain itu, transportasi dan industri juga turut andil dalam menghasilkan emisi karbon dioksida.

Tiongkok, sebagai penghasil gas karbon terbesar, memiliki PLTU berkapasitas 1.100 gigawatt (GW). Namun, Negeri Panda menargetkan puncak emisinya akan berakhir sebelum 2030. Lalu, tiga dekade berikutnya, Beijing menargetkan akan menjadi netral karbon. 

Indonesia belum menetapkan puncak emisi dan dekarbonisasi. “Sesuai rencana umum energi nasional (RUEN), 70% pasokan energi masih berasal dari bahan bakar fosil,” kata Fabby. 

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat komitmen pengurangan emisi Indonesia belum memadai. “Kebijakan iklimnya masih bersifat gimmick, tidak serius, dan mengalami kemunduran di era Jokowi,” ujarnya. 

Deforestasi masih terjadi. Salah satu pemicunya adalah kebijakan pemerintah untuk melakukan bauran BBM dengan minyak kelapa sawit alias biodiesel. Peningkatan pemakaian sawit memicu pula pembukaan lahan baru. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...