Solusi Semu dari Adonan Biomassa - Batu Bara pada Pembangkit PLN

Image title
25 Januari 2021, 16:42
PLTU, PLN, Kementerian ESDM, emisi karbon, lingkungan
123rf.com/pitinan
Ilustrasi. PLN meningkatkan teknologi co-firing untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) demi menggenjot target bauran energi.
  • PLN akan melakukan co-firing pada 52 pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan bakar biomassa hingga 2024.
  • Pemanfaatan biomassa sebagai campuran batu bara untuk bahan baku PLTU dianggap hal yang keliru dan merupakan solusi semu. 
  • Kontribusi co-firing terhadap bauran energi tak signifikan dan tak sejalan dengan target penurunan emisi karbon.

Pandemi Covid-19 masih berlangsung, konsumsi energi terus tertekan. Target untuk mencapai bauran energi baru terbarukan pada pembangkit listrik sebesar 23% di 2025 tetap berjalan.

Melalui PLN, pemerintah mendorong pemakaian energi ramah lingkungan pada pembangkit yang sudah ada, melalui co-firing. Teknologi ini mencampur bahan bakar batu bara dengan biomassa. 

Advertisement

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan program co-firing cukup signifikan untuk menggenjot target tersebut. Hitungannya, pencampuran 5% meningkatkan sekitar 1% pemakaian energi terbarukan. 

Cara ini juga memberikan efek bergulir. Misalnya, pertumbuhan dan pelibatan masyarakat lokal dalam penyediaan biomassa. “Pemerintah memberikan dukungan regulasi untuk aspek keteknikan, standar, juga dorongan ke pengusahaan,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (25/1). 

Pekan lalu, PLN bekerja sama dengan Perum Perhutani dan PTPN III dalam penyediaan biomassa untuk pembangkit listrik tenaga uap alias PLTU. Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini mengatakan untuk memenuhi target bauran bauran energi, perusahaan fokus pada inisiatif green-booster berupa co-firing

Selain dapat memenuhi target bauran energi, cara tersebut dapat memenuhi keekonomian penyediaan tenaga listrik. Teknologinya sesuai dengan belanja modal perusahaan yang sedang minim. Pemakaian biomassa bukan masuk dalam capex, tapi pengeluaran operasional atau opex. “Jadi, kami sambut baik dan memakai PLTU yang sudah ada,” katanya dalam konferensi pers secara virtual.

Direktur Mega Project PLN Ikhsan Asaad menargetkan akan melakukan co-firing pada 52 pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan bakar biomassa hingga 2024. Ke-52 PLTU tersebut tersebar di beberapa wilayah. 

Sebanyak 6 pembangkit sudah mengimplementasikan teknologi tersebut. Keenam pembangkit itu adalah PLTU Paiton, PLTU Jeranjang, PLTU Ketapang, PLTU Sanggau, PLTU Pacitan, dan PLTU Suralaya. Tahun ini, PLN berencana melakukan co-firing di 17 PLTU. “Sesuai peta jalan, implementasi secara bertahap, insya Allah 100% tahun 2024," katanya.

PLTU Suralaya
PLTU Suralaya (Arief Kamaludin|KATADATA)

Co-Firing Upaya Perpanjang Usia PLTU?

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai berpendapat co-firing dapat mengurangi konsumsi batu bara.  Pemakaian teknologi itu di 114 PLTU yang ada dengan kapasitas 18 gigawatt (GW) dapat mensubstitusi sembilan hingga 12 juta ton batu bara.

Dengan begitu, bauran energi terbarukan meningkat 2%. “Kalau melihat angka ini, maka sebenarnya tidak terlalu signifikan dibadingkan target 23% dalam rencana umum energi nasional (RUEN),” ujar Fabby. 

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah peningkatan bauran energi untuk menurunkan emisi karbon. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali efek co-firing terhadap penurunan emisi gas rumah kaca. 

Biomassa untuk teknologi ini biasanya dari tanaman budidaya dan sampah organik. Ketika menjadi bahan bakar pembangkit, maka ada proses pembakaran pula yang menghasilkan gas karbondioksida. 

Perhitungan emisi karbonnya menjadi penting. Hal ini nantinya untuk basis kalkulasi penurunan gas rumah kaca Indonesia sesuai dengan target nasional. Dalam nationally determine contribution atau NDC, negara ini menargetkan penurunan sebesar 29% di 2030 dengan usaha sendiri. Penurunannya menjadi 41% dengan batuan internasional. 

Beberapa hal lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah keberlanjutan pasokan biomassa. Sejumlah feedstock, seperti wood chip atau wood pellet, memiliki pasar di luar Indonesia dan menjadi komoditas ekspor.

Fabby mengatakan jangan sampai nanti pemerintah memberikan subsidi kepada biomassa, seperti kasus bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel. Karena itu, perlu perhitungan pula biaya dan risiko dari pembangkit co-firing dengan opsi lainnya, seperti mengembangkan pembangkit energi terbarukan. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement