Cegah Perubahan Iklim, Joe Biden Akan Hapus Subsidi Bahan Bakar Fosil
Presiden Amerika Serikat Joe Biden menandatangani serangkaian perintah eksekutif baru untuk memerangi perubahan iklim. Termasuk di dalamnya menghentikan sementara penyewaan lahan federal untuk kegiatan minyak dan gas (migas) baru serta menghapus subsidi bahan bakar fosil.
Perintah tersebut bertujuan untuk memetakan arah perubahan iklim dan agenda lingkungan presiden dari Partai Demokrat itu. Kebijakan Biden berbanding terbalik dengan pendahulunya dari Partai Republik Donald Trump, yang berusaha memaksimalkan produksi migas dan batu bara.
Biden berharap kebijakannya dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru. “Kita sudah menunggu terlalu lama untuk menangani krisis iklim,” katanya semalam waktu AS, dikutip dari Reuters, Kamis (28/1).
Ia mencatat ancaman yang akan dihadapi AS dari perubahan iklim adalah badai, kebakaran hutan, banjir, kekeringan, dan polusi udara. Karena itu, Biden menempatkan masalah perbuahan iklim di pusat keamanan nasional serta kebijakan luar negeri dan domestiknya.
Langkah-langkah Biden mendapat dukungan mitra internasional dan pegiat lingkungan. Namun, perusahaan migas besar bependapat hal ini malah akan merugikan AS. Sektor bahan bakar fosil telah menyumbang jutaan pekerjaan dan miliaran dolar ekonomi negara itu.
Presiden American Petroleum Institute Mike Sommers berpendapat Biden telah mengubah masa depan cerah AS. “Tindakannya malah mengarah ke jalan menuju ketergantungan energi asing yang diproduksi dengan standar lingkungan rendah,” ucapnya.
Soal subsidi bahan bakar fosil, belum jelas yang mana akan Biden hapus. AS memberikan banyak keringanan pajak pada industri ini dan harus melalui persetujuan Kongres.
Biden telah meminta Kongres mengakhiri US$ 40 miliar subsidi bahan bakar fosil melalui undang-undang. Presiden ke-46 AS itu mengatakanakan membuat sektor energi listriknya bersih tanpa polusi pada 2035.
Permintaan Minyak Naik 7% Tahun Ini
Hasil analisis Wood MacKenzie menyebut permintaan minyak global akan naik 7% di 2021. Kenaikannya didorong prospek ekonomi yang lebih baik dan distribusi vaksin Covid-19 yang lebih cepat.
Total permintaan minyak rata-rata akan mencapai 96,7 juta barel per hari, naik 6,3 juta barel per hari dibandingkan tahun lalu. “Perkiraan jangka pendek kami, distribusi vaksin dipercepat hingga 2021 dan pertumbuhan ekonomi global sekitar 5%,” kata Wakil Presiden Wood MacKenzie Ann-Louise Kittle.
Keputusan organisasi negara pengekspor minyak dan sekutunya lias OPEC+ akan menjadi potensi ketidakpastian sangat besar. “Dapatkah OPEC+ menegosiasikan kesepakatan setiap bulan dan tetap berkomitmen membatasi produksi?” ucapnya.
Permintaan minyak yang meningkat prediksinya tidak sejalan dengan pemanfaatan kilang. Pasalnya, pandemi masih berlangsung, plus terjadi pengurangan produksi OPEC+ dan penambahan kapasitas kilang baru di kawasan Timur Tengah serta Asia pada tahun ini.
Perusahaan energi asal AS, Exxon Mobil menilai permintaan energi di masa depan masih akan didominasi minyak. Kenaikan permintaannya didukung sektor transportasi dan petrokimia.
Exxon Mobil memperkirakan pada 2040 permintaan minyak mendominasi hingga 30,3%. Sementara itu, permintaan terhadap energi terbarukan hanya sebesar 23,7%. Namun jumlahnya meningkat, seiring dengan peningkatan permintaan gas yang bakal mencapai 26,3%.
Skenario Exxon Mobil berbeda dengan prediksi yang dikemukakan BP dan Total. Menurut kedua perusahaan tersebut, permintaan energi terbarukan bakal meningkat dan mendominasi di masa depan.