Menguji Keampuhan Perdagangan Karbon di Pembangkit Listrik Tenaga Uap

Image title
19 Maret 2021, 15:49
pltu, perdagangan karbon, emisi karbon, pembangkit listrik, gas rumah kaca, kementerian esdm
123rf.com/malp
Ilustrasi. Pemerintah akan melakukan uji coba perdangangan karbon di 80 unit pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU.
  • Kementerian ESDM mulai melakukan uji coba perdagangan karbon di 80 PLTU.
  • Perdagangan karbon menjadi salah satu cara untuk mengimbangi penggunaan batu bara dengan energi terbarukan.
  • Penetapan harga terlalu rendah dan cap yang longgar berpotensi membuat penurunan emisi karbon menjadi sangat kecil.

Usaha untuk menekan emisi karbon dioksida sedang pemerintah lakukan. Salah satunya melalui uji coba perdagangan karbon di 80 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)

Rinciannya, 19 unit pembangkit berkapasitas lebih dari 400 megawatt (MW). Lalu, 51 unit PLTU kapasitasnya 100 megawatt sampai 400 megawatt. Terakhir, 10 unit PLTU mulut tambang dengan daya 100 sampai 400 megawatt. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kebijakan itu akan membuat energi terbarukan lebih kompetitif. “Harga listrik dari PLTU jadi merefleksikan eksternalitas yang sebenarnya,” katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (19/3).

Hitungan pasti pengurangan emisi dari uji coba 80 unit pembangkit tersebut belum dapat ia pastikan. Mekanisme perdagangan karbonnya belum jelas, demikian pula harganya. “Setahu saya masih disiapkan peraturan presidennya (Perpres),” ujar Fabby.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut uji coba pasar karbon hanya dilaksanakan di sub-sektor ketenagalistrikan. Penerapannya memakai tiga skema, yaitu cap, trade, dan offset

Fabby mengatakan, cap and trade artinya sektor yang dikenakan kewajiban menurunkan emisi harus mencapai batasan yang ditetapkan pemerintah. Jika bisa di bawah cap, maka selisih itu dianggap sebagai surplus dan dapat dijual (trade) ke sektor lain yang terkena kewajiban menurunkan emisi. 

Untuk sektor lain yang terkena kewajiban itu harus melakukan offset (pengurangan emisi) sesuai ketentuan. Caranya dengan melakukan aksi mitigasi atau dapat pula membeli kuota emisi dari industri yang surplus.

Dengan perdagangan karbon tersebut, PLTU dapat secara tidak langsung memenuhi batas emisi dan menurunkan gas rumah kaca. Pemilik pembangkit, baik PLN maupun produsen listrik swasta (IPP), juga mendapat manfaat ekonominya. 

Namun, Fabby menyebut, untuk mencapai target Perjanjian Paris 2015, pemakaian PLTU harus dikurangi drastis dan akhirnya phase out (dihapus secara bertahap). “Jadi, saya melihat kebijakan baru ini sebagai strategi buying time (mengulur waktu),” ujarnya.

Indonesia menargetkan akan mengurangi emisi karbonnya sebesar 29% pada 2030 dengan usaha sendiri. Targetnya naik menjadi 41% dengan asumsi mendapat bantuan internasional.

Sektor energi berperan besar dalam menyumbang emisi di negara ini. Ketergantungan pada energi fosil masih sangat besar. Hal tersebut terlihat dari pemakaian pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau PLTU yang masih dominan. 

Databoks di bawah ini menunjukkan kapasitas daya berdasarkan jenis pembangkitnya hingga semester pertama 2020. 

Emisi karbon
Ilustrasi emisi karbon. (Arief Kamaludin (Katadata))

Mekanisme Perdagangan Karbon di Beberapa Negara

Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengatakan ada berbagai upaya untuk menurunkan target penurunan emisi gas rumah kaca. Misalnya, investasi pada infrastruktur, perdagangan emisi, dan penerapan pajak karbon. 

Yang paling banyak digunakan saat ini di tingkat global adalah pajak karbon. Kawasan Eropa dominan menerapkan strategi tersebut.

Untuk Asia, negara Singapura telah menerapkan pajak karbon sebesar SIN$ 5 per ton emisi karbon dioksida atau sekitar Rp 53 ribu. Pajak tersebut berlaku untuk perusahaan yang masih menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) di atas batas yang ditetapkan.

“Setiap perusahaan mengeluarkan emisi sebesar 25 ribu ton karbon dioksida (CO2), kelebihannya wajib membayar lima dolar per ton CO2," kata Paul dalam Bimasena Energy Dialogue 4 "Transformasi Bisnis Sektor Batubara Dalam Rangka Mendukung Transformasi Energi Indonesia”.

Di Eropa, setiap perusahaan atau fasilitas yang emisinya melebihi batas yang sudah ditetapkan pemerintah, maka terkena denda hingga 100 euro per ton karbon dioksida atau Rp 1,7 juta per ton.

Denda ini pun kebanyakan dihindari oleh berbagai perusahaan. Sistem ini mau-tak mau mendorong pelaku usaha untuk menurunkan emisi karbonnya dan melakukan perdagangan karbon.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...