Meramu Tarif Pajak Karbon yang Ideal untuk Indonesia

Image title
24 Maret 2021, 15:01
emisi karbon, perubahan iklim, oecd, pltu, carbon trading, pajak karbon
123rf.com/Aleksandr Papichev
Ilustrasi. OECD merekomendasikan agar pemerintah Indonesia segera menetapkan tarif pajak karbon.
  • OECD mendorong pemerintah segera menerapkan tarif pajak karbon.
  • Salah satu langkah penurunan emisi yang pemerintah sedang lakukan adalah uji coba perdagangan karbon di 80 PLTU.
  • Pajak karbon dinilai masih sulit diterapkan di Indonesia karena belum ada dukungan politik dan ekonomi. 

Organisasi Kerja Sama Ekonomi Dunia atau OECD menyorot Indonesia. Sejak 2019 negara ini berada di peringkat keempat penghasil emisi karbon dioksida atau CO2 terbesar di dunia. 

Sekretaris Jenderal OECD Angle Gurria merekomendasikan agar pemerintah segera menetapkan tarif pajak karbon. “Pasang harga tinggi pada karbon,” katanya pekan lalu dalam konferensi pers virtual.

Advertisement

Pajak karbon akan berperan menekan deforestasi, kebakaran hutan, dan mencegah perubahan iklim. Pembukaan lahan kelapa sawit berpotensi berkurang. Selain itu, transisi bahan bakar fosil ke energi terbarukan akan lebih cepat.

Dampak positifnya, habitat hewan dan keanekaragaman hayati serta kehidupan masyarakat adat terlindungi. “Yang perlu dilakukan adalah berhenti mensubsidi bahan bakar fosil dan memberlakukan pajak karbon yang besar,” ucap Gurria.

World Research Institute (WRI) mencatat, lebih dari setengah emisi gas rumah kaca global disumbang sepuluh negara di dunia. Dari data Climate Watch yang dirilis WRI Indonesia, Tiongkok menjadi kontributor emisi gas rumah kaca terbesar hingga awal 2018, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini. 

Usaha menekan emisi karbon sedang pemerintah lakukan. Targetnya, sesuai Perjanjian Paris 2015, emisi dapat ditekan 29% dengan usaha sendiri pada 2030. Angkanya naik menjadi 41% apabila mendapat bantuan internasional.

Salah satu upaya yang pemerintah ambil adalah uji coba perdagangan karbon di sektor energi. Setidaknya 80 unit pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU akan melakukan pengujian tersebut.

Rinciannya, 19 unit pembangkit berkapasitas lebih dari 400 megawatt (MW). Lalu, 51 unit PLTU kapasitasnya 100 megawatt sampai 400 megawatt. Terakhir, 10 unit PLTU mulut tambang dengan daya 100 sampai 400 megawatt. 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan pemerintah sedang menyusun regulasi perdagangan karbon. "Saat ini sudah dalam tahap final proses untuk terbitnya peraturan presiden tentang penyelenggaraan ekonomi karbon untuk pencapaian target emisi," ujarnya beberapa waktu lalu.

PLTU Suralaya
Ilustrasi PLTU.  (Arief Kamaludin|KATADATA)

Penurunan Emisi dari Uji Coba PLTU

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan carbon trading dilakukan pada 80 unit peserta yang tidak dalam satu unit kepemilikan. Unit yang berada di atas batas (cap) atau dalam posisi defisit emisi harus membeli dari pembangkit lain. 

Untuk unit yang berada di bawah nilai cap mengalami surplus (bertindak sebagai penjual/seller) dapat menjual emisi kepada unit yang defisit. Seller, menurut Rida, dapat menjual dengan batas 70% dari total surplusnya. "Mekanisme transaksi perdagangan dilaksanakan secara business to business antara pelaku usaha," kata Rida.

Dengan penerapan itu, unit PLTU akan melakukan upaya perbaikan agar dapat memenuhi batas emisi. Apabila semua unit melakukan perdagangan karbon ini, maka potensi penurunan emisinya mencapai 5,3 juta ton karbon dioksida. 

Secara total, jumlah PLTU di Indonesia hingga 2020 mencapai 34,6 gigawatt (GW). Untuk total kapasitas 80 unit pembangkit yang melakukan uji coba carbon trading adalah 26 gigawatt.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat tren emisi karbon di Indonesia akan terus naik, terutama dari sektor energi. "Memang perlu ada upaya untuk menurunkan emisi dan mengubah tren tersebut," ujarnya.

Penggunaan instrumen seperti pajak atau cukai carbon adalah instrumen yang lazim dipakai. Penerapannya dapat mendorong pelaku ekonomi melakukan transformasi bisnis dan mengaplikasikan teknologi yang lebih efisien dan rendah emisi.

Sampai saat ini belum ada patokan harga karbon yang baku. Fabby mengatakan, pada High Level Commission on Carbon Prices pada 2017 yang diketuai peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz dan Lord Nicholas Stern, harga karbon sekitar US$ 40 sampai US$ 80 per ton pada 2020 dan US$ 50 sampai US$ 100 per ton pada 2030.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement