Holding Terbentuk, Proyek Baterai Jalan Terus
- Pemerintah menargetkan Indonesia menjadi pemimpin pembuatan baterai kendaraan roda dua dan stabilisator pembangkit listrik energi terbarukan.
- Pembentukan holding baterai dapat memperkuat konsolidasi rantai pasok, mulai dari bahan baku, produksi, dan offtaker.
- Ada peluang produk baterai RI diekspor ke Tiongkok dan Amerika Serikat.
Indonesia Battery Corporation alias IBC resmi terbentuk hari ini, Jumat (26/3). Induk usaha gabungan empat perusahaan pelat merah itu akan fokus dalam bisnis baterai listrik dari hulu hingga hilir.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan untuk mengonsolidasikan potensi bisnis baterai memerlukan upaya jangka panjang. “Karena ini baru di kertas doang. Tentu bagaimana implementasinya akan terbukti pada tahun depan,” ujarnya dalam konferesi pers sore tadi.
Ada dua perusahaan asing yang bakal menggelontorkan dana dalam proyek tersebut. Pertama, produsen baterai asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology Co Ltd atau CATL. Perusahaan akan menginvestasikan uangnya sebesar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 72 triliun.
Kemudian, LG Chem Ltd asal Korea Selatan akan menanamkan uangnya sekitar US$ 13 miliar hingga US$ 17 miliar (Rp 187,5 triliun sampai Rp 245 triliun).
Meskipun menggandeng mitra asing, namun pemerintah tetap melibatkan BUMN. “Yang tidak kalah penting dari proyek ini adalah adanya transfer teknologi,” kata Erick.
Dalam kesepakatan kerja sama tersebut, nantinya produk baterai yang dihasilkan tidak hanya fokus untuk mobil listrik saja. Kendaraan roda dua juga bakal menjadi konsumennya.
Targetnya, Indonesia menjadi pemimpin untuk pembuatan baterai kendaraan roda dua dan baterai stabilisator pembangkit listrik energi terbarukan. “Jadi ini perjanjian yang win-win. Mobil kami ngalah. Tapi motor listrik dan stabilisator yang jadi leading sector,” ujarnya.
Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury mengatakan Indonesia Battery Corporation merupakan konsorsium empat perusahaan pelat merah. Keempatnya adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) atau MIND ID, PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT PLN (Persero), dan PT Pertamina (Persero).
Pembentukan ini bertujuan agar kekuatan dari hulu hingga hilir dapat disatukan. Pada 2030 pemerintah menargetkan kapasitas baterai akan ditingkatkan menjadi 140 gigawatt hour (GWh).
Sebanyak 50 gigawatt hour dari produksi tersebut rencananya akan diekspor. Sisanya untuk keperluan industri baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dalam negeri. "Potensi EV ini besar sekali. Ada roda dua, produksinya 10 juta dan roda empat di atas 2 juta unit," ujarnya.
Pemerintah juga sedang menyusun peta jalan pengembangan baterai listrik dan sistem penyimpan energi (energy storage system/ESS) hingga 2027.
Tahun ini, capaian awalnya adalah membangun stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) di seluruh Indonesia.
Dalam Indonesia Battery Corporation, MIND ID bersama Antam berperan untuk menyediakan bijih nikel. Pertamina menjalankan bisnis manufaktur produk hilir meliputi pembuatan baterai cell, baterai pack, dan ESS.
Sedangkan PLN akan berperan untuk pembuatan sel baterai, penyediaan infrastruktur SPKLU, dan pengintegrasian sistem manajemen energi (energy management system/EMS). Porsi kepemilikan saham masing-masing BUMN ini adalah 25%.
Selanjutnya, holding bisnis baterai itu akan membangun fasilitas daur ulang baterai. Pelaksananya adalah anak usaha MIND ID, yaitu PT Nasional Hijau Lestari (NHL). Apabila industri baterai ini terbangun, Indonesia memiliki potensi untuk membangun ekosistem industri EV terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Peluang Ekspor Baterai RI
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pembentukan holding baterai merupakan kebijakan strategis pemerintah untuk mengoptimalkan sumber daya yang berkaitan dengan baterai. Misalnya, nikel.
Kebijakan turunan untuk produk baterai, seperti limonite nikel berkadar rendah, seharusnya juga mulai disusun. Sejauh ini belum ada pabrik pengolahan atau smelter yang mengolah jenis ini.
Dengan adanya induk usaha itu, perlu kebijakan untuk mendorong investasi di pengolahan nikel tersebut. "Efek berganda paling besar adalah Indonesia bisa mengelola baterai untuk kendaraan listrik," kata dia.
Tren penggunaan dan peralihan mobil konvensional ke mobil listrik sedang mengalami peningkatan. Dari momentum tersebut pangsa pasar yang bisa diisi oleh produsen baterai tentu masih sangat besar.
Pemerintah kemudian bisa melakukan ekspor, seperti ke Tiongkok, yang sedang gencar memproduksi kendaraan listrik. Produk baterainya dapat pula masuk ke rantai pasok global mobil listrik Tesla buatan Amerika Serikat.
Komponen baterai selama ini menjadi produk termahal dalam produksi mobil listrik. Kontribusinya sekitar 30% dari total biaya kendaraan. Pendirian baterai di dalam negeri dapat memangkas ongkos produksi mobil listrik. “Namun, investasi pabrik baterai pun tidak murah,” kata Yusuf.
Ongkos Produksi Mobil Listrik
Pembentukan holding baterai dapat memperkuat konsolidasi rantai pasok mulai dari bahan baku, produksi, dan offtaker. “Yang perlu diperhatikan adalah daya saing, dalam hal kualitas dan harga bateari,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.
Proyek ini memiliki prospek cerah. Potensi pasar kendaraan listrik pada 2025 adalah dua juta untuk mobil listrik dan 13 juta motor listrik. Ada pula potensi besar pasar penyimpanan energi atau ESS.
Ongkos produksi mobil listrik pun lebih murah. Fabby menghitung harga baterai nantinya dapat 15% hingga 20% lebih murah daripada buatan Tiongkok.
Langkah selanjutnya sekarang adalah membuka pasar baterai untuk EV, kebutuhan listrik, dan telekomunikasi. “Jangan sampai, seperti ayam dan telur. Pasar dulu atau pasokan dulu,” ucap Guru Besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa.
Dengan pendirian induk usaha tersebut, tidak otomatis investasi akan naik signifikan. "Pendapat saya, industri ini belum menarik dalam beberapa tahun ke depan ini karena pasarnya belum terbentuk,” kata Iwa.
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menyebut industri baterai di Indonesia sangat strategis. Selain memiliki sumber daya yang besar, potensi pasar di dalam dan luar negeri sangat besar seiring berkembangnya mobil listrik. "Kalau Indonesia mengembangkan mobil listrik, tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pemasok baterai," kata dia.