Sejarah Ketua Umum Partai Golkar, Sempat Diwarnai Dualisme Pemimpin

Dzulfiqar Fathur Rahman
27 Juli 2023, 15:46
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyampaikan pidato saat penutupan Musyawarah Nasional (Munas) partai berlogo pohon beringin itu di Jakarta, Kamis (5/12/2019) malam.
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyampaikan pidato saat penutupan Musyawarah Nasional (Munas) partai berlogo pohon beringin itu di Jakarta, Kamis (5/12/2019) malam.

Partai Golkar tengah menghadapi gejolak di dalam tubuhnya akibat dorongan untuk pergantian Ketua Umum Airlangga Hartarto. Partai berlambang pohon beringin pernah mengalami dualisme kepemimpinan pada 2014 sampai 2016.

Desakan untuk pengunduran diri Airlangga muncul sejak pertengahan Juli 2023. Hal ini dipicu pemeriksaan menteri koordinator bidang perekonomian itu sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah dan turunannya.

Anggota dewan pakar Partai Golkar Ridwan Hisjam mengatakan pemeriksaan tersebut seharusnya mendorong Airlanggar mengundurkan diri. “Sebagai ketua umum mundur, konsentrasi perbaiki dirinya agar tidak terkena sebagai tersangka, atau diputuskan menjadi koruptor itu tuntutan saya sekarang,” kata Hisjam di Jakarta Pusat pada Rabu (26/7).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia meramaikan bursa ketua umum Partai Golkar.

Rapat kerja nasional Partai Golkar
Rapat kerja nasional Partai Golkar (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.)

Dari Tangan Tentara ke Politisi

Partai Golkar memiliki daftar ketua umum dengan sejarah yang mengakar ke pertengahan 1960-an. Brigadir Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Djuhartono menjadi orang pertama yang memulai kepemimpinan di partai pohon beringin itu.

Pemilihan seorang tentara sebagai pemimpin pertama berkaitan dengan konteks pembentukan Partai Golkar. Menurut situs partai, Jenderal TNI Abdul Haris Nasution berpengaruh dalam menggerakkan Golongan Karya untuk bertransformasi menjadi partai politik dari organisasi masyarakat pada 1960-an.

Pada 1964, TNI Angkatan Darat menggunakan Partai Golkar untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik.

Djuhartono memimpin Partai Golkar pada 1964 hingga 1969. Kepemimpinannya dengan demikian berlangsung pada awal masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang merupakan bagian dari partai pohon beringin itu.

Lahir di Yogyakarta pada 1925, Djuhartono mengawali kariernya sebagai tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang merupakan satuan paramiliter yang dibentuk oleh Jepang pada 1943. Ia mulai terjun ke dalam tubuh cikal bakal Partai Golkar lewat Front Nasional.

Kepemimpinan tentara di dalam Partai Golkar berlangsung hingga 1993, ketika terjadi pergantian pemimpin ke Harmoko dari Letnan Jenderal TNI Wahono. Harmoko dengan demikian menjadi ketua umum pertama tanpa latar belakang militer.

Harmoko memimpin Partai Golkar pada Oktober 1993 sampai Juli 1998. Pria kelahiran Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, ini mengawali kariernya sebagai wartawan sebelum akhirnya mengemban jabatan publik dan partai politik.

Kepemimpinan Harmoko berlangsung hingga keruntuhan pemerintahan Presiden Soeharto, yang terjadi pada Mei 1998. Pria kelahiran 1939 itu juga menyaksikan pergantian rezim dari kursi pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Sejak Harmoko, pemimpin Partai Golkar cenderung berasal dari politisi dan pengusaha. Jusuf Kalla (JK), misalnya, merupakan pemimpin periode 2004-2009 yang membangun kariernya sebagai pebisnis dengan usaha keluarga Grup Kalla.

RAPAT PLENO DPP PARTAI GOLKAR
RAPAT PLENO DPP PARTAI GOLKAR (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Dualisme Kepemimpinan

Antara 2014 dan 2016, Partai Golkar terbelah ke dalam dua kubu dengan pemimpin yang berbeda, yaitu Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono. Masing-masing mengeklaim takhta ketua umum lewat musyawarah nasional yang berbeda. Abu Rizal memperoleh mandat dari musyawarah di Bali dan Agung dari musyawarah di Ibu Kota.

Perpecahan ini berkaitan dengan perselisihan terkait posisi Partai Golkar terhadap pemerintah. Kubu yang dipimpin oleh Abu Rizal mengambil posisi yang menentang pemerintah dan kubu yang dipimpin Agung mengambil posisi sebaliknya.

Dualisme kepemimpinan ini berakhir pada 2016 menyusul rekonsiliasi yang dipimpin oleh eks ketua umum dan Wakil Presiden JK. Rekonsiliasi ini bermuara ke musyawarah nasional yang memberikan mandat ketua umum ke Setya Novanto.

Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...