Menanti Kehadiran Perpres Baru untuk Dorong Sektor Panas Bumi

Sorta Tobing
9 September 2020, 15:54
geothermal, perpres panas bumi, kementerian esdm, listrik panas bumi, harga panas bumi
123RF.com/Dmitrii Korolev
Ilustrasi. Pemerintah akan menerbitkan peraturan presiden (Perpres) pembelian harga listrik energi baru terbarukan (EBT). Salah satunya untuk mendorong pemanfaatan panas bumi atau geothermal.

Pemerintah akan menerbitkan peraturan presiden (Perpres) pembelian harga listrik energi baru terbarukan (EBT). Aturan ini juga akan berisi berbagai insentif untuk pelaku usaha sektor ini, termasuk keringangan pajak.

Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ida Nuryatin Finahari menyebut penerbitan Perpres itu sebagai langkah mengakselerasi transisi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan. “Sekarang (aturannya) sedang harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” katanya, Rabu (9/9), dalam acara Digital Indonesia International Geothermal Convention (DIGC).

Advertisement

Beberapa insentif yang diterima pelaku industri antara lain pembebasan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan barang mewah pada kegiatan impor. Insentif tambahan diberikan kepada sektor energi panas bumi atau geothermal, yakni keringanan pajak bumi dan bangunan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sehari sebelumnya menyebut terbitnya Perpres tersebut bakal menjadi pelengkap untuk menjamin kepastian hukum bagi investor. Salah satu sektor EBT yang sedang dikebut pemerintah adalah geothermal.

Sektor ini, menurut Arifin, punya masa depan yang cerah untuk kemandirian energi Indonesia sehingga pengembangannya harus dikebut. “Di antaranya dengan terus memberikan inovasi dengan peraturan yang pasti,” katanya.

Pengembangan panas bumi atau geothermal saat ini memang masih terbuka lebar. Dari potensi 23,9 Giga Watt (GW), pemanfaatannya baru 8,9%.  

Masalah Tarif Listrik Panas Bumi

Kehadiran Perpres tersebut sangat dinantikan oleh pelaku industri. Ketua Asosiasi Panas Bumi Prijandaru Effendi mengatakan, upaya pemerintah ini patut diacungi jempol. “Semoga bisa memberi jawaban dari hambatan-hambatan di sektor ini sejak dulu,” katanya kepada Katadata.co.id.

Kinerja sektor panas bumi Indonesia memang belum terlalu menggembirakan. Masalah utamanya berhulu dari tarif listrik panas bumi yang belum kompetitif. Terdapat ketimpangan harga antara energi panas bumi dan fosil.

Proyek skala besar sekali pun, tarif idealnya US$ 10-12 cen per kilo Watt hour. Sementara, harga pembangkit batu bara US$ 9 sen per kilo Watt hour. Perbedaan angka itu yang membuat harga jual panas bumi tidak terjangkau PLN, pemegang kendali listrik di Indonesia.

Harga panas bumi, menurut Prijandaru, baru bisa kompetitif bila pemerintah memasukan aspek kelestarian lingkungan. Misalnya, dalam regulasi baru nanti seharusnya ada aturan soal pajak karbon atau carbon tax. Dengan begitu, harga energi geothermal bisa lebih kompetitif dengan batu bara.

Sebagai perbandingan, sejak 2010 India mematok pajak karbon sebesar US$ 1,07 per ton batu bara. Negara ini bahkan memiliki emisi per kapita yang empat kali lebih rendah dibanding Indonesia.

Apabila Indonesia memasang pajak karbon, pemerintah bisa memasang tarif di bawah harga internasional dengan rentang US$ 5 sampai US$40 per ton karbon. Penerapan pajak karbon ini juga akan mengeskalasi target pengurangan emsisi yang tertuang dalam Kesepakatan Paris. Dalam kesepakatan itu, Indonesia berkomtimen mengurangi gas rumah tangga sebesar 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan pihak eksternal pada 2030.

Tarif harga energi panas bumi, menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2008, ditetapkan melalui sistem tender panas bumi. Dalam aturan ini termaktub skema penawaran Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) oleh PLN. Pagu tender panas bumi akan dihitung berdasarkan persentase biaya yang dikeluarkan untuk pembangkit listrik PLN, atau Biaya Pokok Penyediaan (BPP).

Proyek dengan kapasitas antara 10-55 Mega Watt (MW), harga plafonnya 85% dari BPP pada tegangan tinggi atau tegangan sedang dari sistem listrik lokal. Adapun proyek yang memiliki kapasitas di atas 55 MW, harga plafonnya adalah 80% dari BPP pada tegangan tinggi dari sistem listrik lokal.

Skema ini hanya membuka kemungkinan penawar harga terendah saja yang akan menjadi pemenang. Karena itu, banyak yang menyebut peraturan tersebut tidak menyelesaikan masalah tarif panas bumi karena harga tertinggi yang ditetapkan belum dilirik PLN sebagai single buyer.

Sebagai acuan, tarif tertinggi panas bumi untuk Indonesia bagian barat adalah sekitar US$ 5-7 sen kWh, sedangkan untuk bagian timur Indonesia dapat mencapai US$ 23 sen kWh. “Perhitungannya harus memasukan faktor lingkungan dalam ekonomi di sektor panas bumi ini. Dengan begitu, panas bumi bisa bersaing dengan energi fosil,” ujar Prijandaru.

Proyek panas bumi
Proyek panas bumi (Katadata)

Upaya Kurangi Risiko Ekspolorasi

Masalah lain yang diharapkan bisa terurai dengan Perpres baru ini ialah soal eksplorasi panas bumi. Prijandaru menyebut, pemerintah harus bisa memberikan kepastian regulasi yang mendorong pengembang berinvestasi di wilayah Indonesia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement