Uni Eropa Berencana Pangkas Emisi Karbon hingga 55 % di 2030
Uni Eropa berencana menaikkan target pemangkasan emisi karbonnya dari 40% menjadi 55% di 2030. Target ambisius ini dalam rangka untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu nol emisi pada 2050, dan memperkuat statusnya sebagai pemimpin global dalam upaya mencegah perubahan iklim.
Melansir dari Reuters, Jumat (11/9), target tersebut masih dalam pembicaraan dan dapat berubah. Komisi Eropa menginginkan kadar emisi di wilayahnya dapat terpangkas paling tidak 55% dibandingkan pada 1990.
Rencana ini masih membutuhkan persetujuan dari pemerintah negara-negara dan parlemen Uni Eropa. Pemotongan emisi dapat terjadi jika semua negara sepakat untuk memotong emisi karbon dioksida dari sektor industri dan pembangkit listrik.
Di saat yang sama, Jerman membuka opsi menaikkan harga emisi karbon dioksida dari transportasi dan pemanas gedung. Tujuannya pun untuk memenuhi tujuan ambisius Komisi Eropa.
Menteri Ekonomi Peter Altmaier mengatakan, saat ini pemerintahnya terlalu ramah bisnis dan lambat dalam mencapai sasaran nol karbon. “Kami telah mengecewakan banyak orang yang menganggap penting perlindungan iklim,” katanya pada pekan lalu.
Ia menilai harga emisi harus naik, tapi menolak memberikan rinciannya. Selain itu, tahun depan Jerman akan menghentikan secara bertahap energi nuklir dan batu bara, sambil meningkatkan investasi energi terbarukan.
Kanselir Jerman Angela Merkel menyebut negaranya tidak punya pilihan selain menerima target yang ditetapkan Komisi. Dekarbonisasi ekonomi terbesar di Eropa itu, menurut dia, tidak akan mudah.
Tahun lalu, pemerintah Merkel telah menaikkan harga emisi karbon dioksida dari transportasi dan pemanas gedung menjadi 25 euro per ton. Langkah tersebut dilakukan setelah Partai Hijau mengkritik harga awalnya yang hanya 10 euro terlalu murah.
Dampak Harga Karbon Terhadap Emisi
Laporan World Economic Forum pada 4 September 2020 menunjukkan hubungan penetapan harga karbon terhadap emisi. Dengan menaikkan harga karbon sebesar 1 euro per ton maka terjadi penurunan emisi sebesar 0,3%.
Negara-negara yang memakai harga emisi karbon memiliki laju pertumbuhan emisi tahunan dua poin lebih rendah dibandingkan yang tanpa harga karbon. Tingkat pertumbuhan emisi tahunan rata-rata untuk 142 negara adalah 2%.
Rata-rata emisi karbon dioksida turun 2% per tahun selama 2007 sampai 2017 di negara yang memiliki harga karbon. Di negara yang tanpa harga tersebut terjadi peningkatan emisi sebesar 3% per tahun.
Perbedaan antara kenaikan 3% dan penurunan 2% per tahun adalah lima poin secara persentase. Studi World Economic Forum menemukan sekitar dua poin persentase itu disebabkan oleh harga karbon.
Indonesia tercatat mengantongi dana US$ 103,8 juta (sekitar Rp 1,5 triliun) dari Green Climate Fund karena mampu mengurangi emisi gas hingga 20,3 juta ton pada periode 2014 sampai 2016. Dana ini berasal dari skema pembayaran berdasarkan hasil (RBP) dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Dana tersebut nilainya paling besar dibandingkan dengan negara lain dalam skema serupa. Pemberian dana bagi Kolombia dan Ekuador tercatat paling rendah. Keduanya baru mengurangi emisi gas masing-masing tujuh juta ton dan 3,6 juta ton.
Negara ini berpotensi memperoleh tambahan dana US$ 160 juta untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. “Kami masih bekerja untuk berinteraksi lagi dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan BioCarbon Fund,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada 28 Agustus 2020.
Berdasarkan data Kementerian, capaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2017 mencapai 24,7%. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, dana-dana REDD+ tersebut digunakan kembali untuk pemulihan lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. Targetnya, negara ini dapat menurunkan emisi hingga 29% di 2030 dengan upaya sendiri dan 41% bantuan internasional.