Potensi Bisnis Jual Beli Karbon RI, Siapa Diuntungkan?

Image title
18 September 2020, 18:40
perdagangan karbon, emisi karbon, harga karbon, pajak karbon, kementerian lingkungan hidup
123RF.com/Elnur Amikishiyev
Ilustrasi. Pemerintah sedang menyiapkan peraturan presiden atau Perpres sebagai dasar landasan hukum perdagangan karbon.

Pemerintah Indonesia berbicara mengenai besarnya potensi pendapatan dari perdagangan karbon. Berbagai aturan guna mendukung terealisasinya penerapan itu pun saat ini tengah digodok.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memproyeksikan tambahan pendapatan sebesar Rp 350 triliun melalui jual beli kredit karbon. Hal ini mengingat lahan gambut dan hutan yang dimiliki Indonesia sebagai penyerap karbon mempunyai cakupan yang sangat luas.

Advertisement

Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat asap karbondioksida (CO2) kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon). Mekanisme carbon trading telah menjadi solusi di beberapa negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya juga pernah menyebut Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya tanpa emisi karbon. Hal ini mengingat potensinya yang cukup besar dalam sumber daya energi terbarukan.

"Indonesia memiliki lahan gambut seluas 7,5 juta hektare, mangrove 3,1 juta hektare, dan hutan seluas 180 juta hektare yang berkontribusi terhadap penyerapan gas karbon dunia," kata Luhut beberapa waktu lalu.

Pemerintah saat ini juga tengah menjajaki peluang mencari pembeli dalam bisnis jual beli karbon. Pasar potensial tersebut berada di Amerika Serikat (AS), Eropa, Tiongkok, dan Vietnam yang memiliki keterbatasan luas hutan.

Pada Juli lalu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan peraturan presiden atau Perpres sebagai dasar landasan hukum perdagangan karbon ditargetkan bisa rampung pada Agustus tahun ini. Namun, saat dikonfirmasi mengenai progress Perpres tersebut, Siti tak membalas pesan yang dikirimkan oleh Katadata.co.id.

Perpres tentang perdagangan karbon sudah mulai disusun sejak 2019. Saat ini, draf regulasi tersebut sedang dibahas di tingkat Sekretariat Kabinet dan Kementerian Sekretariat Negara. Draf Perpres akan segera dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM untuk kemudian dibahas antar kementerian. "Proses sudah lama disiapkan," kata Siti Nurbaya beberapa waktu lalu.

Siti mengatakan, regulasi tersebut akan mengatur tiga skema dalam perdagangan karbon, yakni cap and trade, result based payment (RBP), juga carbon offset. Untuk pajak atas karbon belum masuk dalam Perpres tersebut karena penetapan pajak atas karbon harus berdasarkan amandat undang-undang. "Pak Menko (Airlangga Hartarto) mengatakan sangat mungkin dengan cukai. Saya akan pelajari lagi dan kita akan bahas," ujarnya.

Dia menjelaskan Perpres tentang perdagangan karbon ini akan membahas soal upaya pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca untuk dunia yang terkait penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Kemudian, aturan ini juga akan mengatur upaya mendorong pembangunan rendah karbon.

Emisi karbon
Ilustrasi emisi karbon. (Arief Kamaludin (Katadata))

Bisnis Jual Beli Karbon Siapa Untung?

Namun, rencana penerapan perdagangan karbon malah justru mendapat penolakan dari beberapa lembaga masyarakat. Salah satunya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Lembaga ini menganggap perdagangan karbon merupakan upaya makelar dalam mencari keuntungan untuk menciptakan perdagangan baru.

"Ini motifnya bisnis. Yang menikmati bukan alam dan mereka yang hidup di alam. Yang menikmati ya perusahaan, yang berdagang karbon itu," ujar Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional WALHI, Yuyun Harmono saat dihubungi, Jumat (18/9).

Tak hanya itu, ia juga menilai perdagangan karbon berpotensi memberikan celah bagi perusahaan yang begerak di industri ekstraktif untuk tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi gas rumah kaca. Padahal, perusahaan yang bergerak di industri itu seharusnya dapat mentrasformasikan bisnisnya dari energi berpolusi ke ramah lingkungan.

Dengan adanya karbon kredit, sektor industri dapat leluasa mengompensasi dan membayar sejumlah uang tanpa harus repot-repot menjaga emisi gas buang yang dikeluarkan. Dengan adanya perdagangan karbon mereka akan melanjutkan aktifitasnya. “Mereka masih akan terus mengemisi asalkan mereka membeli karbon di tempat lain," kata dia.

Dia pun mengimbau agar pemerintah tidak melegalkan aturan ini hanya demi mencari cuan. Keuntungan dari bisnis ini hanya dinikmati korporasi yang tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi karbon.

Saat dikonfirmasi rencana pemerintah terkait penerapan perdagangan karbon. Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Nugraha menyarankan agar bisa menghubungi Ruandha, selaku Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK. "Bisa komunikasi dengan Dirjen PPI (Pengendalian Perubahan Iklim) ya," ujarnya.

Namun,  saat dimintai konfirmasi perihal progress aturan penerapan perdagangan karbon maupun tanggapan atas aksi penolakan dari beberapa pihak, Ruandha belum memberikan komentar. Katadata.co.id terus mencoba menghubungi yang bersangkutan, namun hingga berita ini dimuat, Ruandha tetap tak memberikan respon.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement