Berkah Pengembangan Energi Baru RI dari Proyek PLTS Jumbo Australia

Image title
22 September 2020, 14:49
plts, plts atap, pembangkit listrik, energi baru terbarukan, kementerian esdm, sun cable, australia
123rf.com
Ilustrasi. Australia berencana mengekspor listrik ke Singapura pada 2027 melalui pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS berskala jumbo.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat pandemi corona, Australia terus menggenjot pembangunan megaproyek pembangkit listrik tenaga surya alias PLTS terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung, proyek ini diproyeksikan menelan biaya sebesar 22 miliar dolar Australia (sekitar Rp 235 triliun).

Proyek yang digarap Sun Cable ini akan mengekespor listrik ke Singapura melalui kabel bawah laut sepanjang 3.700 kilometer. Harapannya, ketika proyek mulai beroperasi di 2027, sekitar 20% kebutuhan listrik negara itu dapat terpenuhi.

Advertisement

PLTS jumbo tersebut bakal berada di lahan seluas 12 ribu hektare dengan dukungan penyimpanan baterai sebesar 30 gigawatt hour (GWh). "Proyek ini memanfaatkan teknologi tenaga surya kelas dunia Australia untuk mengekspor energi terbarukan dalam skala besar," kata Menteri Industri, Sains dan Teknologi Australia Karen Andrews, dikutip dari globalconstructionreview.com, pada Juli lalu.

CEO Sun Cable David Griffin menyebut pembangunan PLTS itu merupakan tonggak penting untuk mewujudkan proyek Australian-ASEAN Power Link (AAPL). Perusahaan rintisan asal Siangpura itu pun berencana menghubungkan PLTS jumbonya ke Indonesia di masa depan.

"Proyek ini membantu menumbuhkan industri baru, memanfaatkan sistem transmisi kabel listrik bertegangan tinggi (HVDC) bawah laut antarbenua, untuk memasok energi terbarukan ke Indo-Pasifik dan mendukung tujuan rendah emisi di kawasan itu," kata Griffin.

Singapura sejak lama mengandalkan gas alam, sebagian dari Indonesia, untuk menyalakan pembangkit listriknya. Data 2016 pemerintah setempat menunjukkan 95% listrik negara itu berasal dari gas alam, sisanya baru bara, minyak bumi, limbah kota, dan surya.

Negara tersebut memiliki sumber energi terbarukan yang terbatas. Satu-satunya yang potensial adalah energi surya. Targetnya, pada 2030 Singapura akan mengalirkan listrik surya ke 350 ribu rumah tangga. Angka ini mewakili 4% total kebutuhan listrik Negeri Singa.

Di saat yang sama, Indonesia pun tak berencana untuk memperpanjang kontrak gas dengan Singapura. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun lalu memutuskan untuk menghentikan pengiriman pasokan gas bumi dari Blok Corridor ke negara itu setelah kontraknya berakhir pada tahun 2023.

Tujuan penghentian itu adalah menggenjot pemanfaatan pasokan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri. ‎"Gas masih banyak di Sumatera, suplai ke Singapura berakhir 2023 akan kami tarik ke dalam negeri," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif ketika itu.

Gas yang semula dipasok ke Singapura akan dialirkan melalui pipa Duri-Dumai‎ ke seluruh Sumatera. Pengaliran gas kemudian akan dilanjutkan ke seluruh pulau Jawa. Saat ini, pemerintah juga mulai melakukan penjajakan kepada pengelola sumur gas yang berada di wilayah Sumatera.

Kontribusi EBT untuk Suplai Listrik
Kontribusi EBT untuk Suplai Listrik (Katadata)

Dampak Proyek PLTS Jumbo Australia ke Indonesia

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral FX Sutijastoto menilai proyek AAPL menunjukkan perkembangan teknologi berkembang pesat. Pemerintah perlu menyiapkan strategi dan konsep inovasi yang mampu mengantisipasi disruption technology terhadap sistem yang sudah ada. 

"Ini tidak bisa dihindari dan harus diantisipasi supaya kita bisa melakukan persiapan perubahan sebagai bagian upaya adaptasi kepada kondisi yang baru," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (22/9).

Namun, saat ditanya lebih lanjut mengenai peran yang akan diambil oleh pemerintah, dirinya enggan berkomentar lebih jauh. Begitu juga dengan dampak dari beroperasinya proyek PLTS Australia terhadap proyek-proyek pengembangan energi terbarukan (ET) di Indonesia.

Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menilai proyek PLTS skala raksasa di Australia itu bukan ancaman bagi industri energi terbarukan di dalam negeri.

Prediksinya, harga jual listriknya bakal lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit energi terbarukan di Indonesia. "Bahwa ada kemungkinan memasok ke Indonesia mungkin saja, tapi sekali lagi biaya akan sangat menentukan dan saya duga harganya tidak murah," kata Fabby.

Indonesia sebenarnya juga berpotensi mengembangkan energi surya. Pemerintah dapat mendorong pengembangannya dengan teknologi PLTS Atap yang listriknya dikonsumsi langsung konsumen atau dijual ke PLN.

Apalagi, dari target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025, energi surya setidaknya menyumbang 6,5 GW atau 15% dari total penambahan kapasitas pembangkit ET. Tanpa didorong proyek di Australia, Fabby menilai seharusnya target ini dapat tercapai.

Guna meningkatkan penambahan PLTS Atap di Indonesia, pemerintah perlu mempertimbangkan mengalihkan dana subsidi listrik ke pembangunan pembangkit listrik itu di masing-masing rumah tangga tak mampu. Langkah ini juga mampu memangkas subsidi listrik untuk jangka yang cukup lama. "Sudah dibahas sejak Mei lalu dan ini salah satu cara untuk mengejar penambahan PLTS di Indonesia," kata dia.

Bila rencana besar ini terealisasi, pemerintah tidak perlu lagi memberikan tambahan subsidi listrik yang selama ini membebani keuangan negara. Selain itu, penggunaan PLTS Atap juga bakal berdampak pada biaya yang dikeluarkan PLN dalam memproduksi energi setrum.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement