Dampak Berantai Perang Dagang AS - Tiongkok terhadap Ekonomi Indonesia

Sorta Tobing
17 Mei 2019, 22:47
ekspor, neraca dagang april defisit, neraca anggaran, apbn 2019 defisit, perang dagang AS-Tiongkok
Arief Kamaludin|KATADATA

Pemerintah sepertinya akan sulit mendongkrak pertumbuhan ekonomi tahun ini. Salah satu faktor penahannya adalah defisit neraca dagang yang semakin melebar. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut defisit pada April 2019 tembus US$ 2,5 miliar, terdalam sepanjang sejarah.

Jika dibandingkan periode Januari-April 2019, nilai ekspor mencapai US$ 53,2 miliar dan impornya US$ 55,76 miliar. Angka defisitnya menjadi US$ 2,56 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan periode serupa 2018 yang hanya US$ 1,4 miliar.

Advertisement

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, lonjakan defisit terjadi karena pengaruh situasi global akibat perang dagang. “Kondisinya tidak mudah, 2019 ini tantangannya akan luar biasa,” katanya pada Rabu lalu (15/5).

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok memanas dalam seminggu terakhir. Masing-masing negara saling berbalas menaikkan tarif produk impornya dan belum menemukan kata sepakat sejak melakukan perundingan dagang pada Januari 2018.

(Baca: Neraca Dagang April Defisit, Rupiah Diprediksi Melemah hingga Juni)

Negara lain jadi ikut kembang-kempis menanti kepastian dari dua penguasa ekonomi dunia itu. Dampaknya, permintaan dan harga barang ikut lesu. IMF memangkas pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 3,3% atau turun 0,2 poin dari estimasi Januari lalu.

Perdagangan Indonesia terkena imbasnya. Angka defisit neraca migas sedikit membaik, dari US$ 3,89 miliar pada Januari-April 2018 menjadi US$ 2,76 miliar pada periode sama tahun ini. Jumlah impornya mulai turun karena sejak Januari lalu Pertamina mulai menyerap minyak mentah hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Neraca nonmigas pada Januari-April 2018 mencatatkan surplus US$ 2,49 miliar. Tapi tahun ini angkanya jeblok menjadi US$ 204,7 juta. Dari sisi impor mengalami pelemahan. Namun, penurunan yang lebih besar terjadi pada ekspornya.

Kalau melihat lebih rinci, sektor manufaktur yang menjadi andalan ekspor turun 7,83%. Pertanian sedikit melemah sekitar 3%. Lalu, ekspor tambang mengalami pelemahan terbesar, yaitu 12,26%. Harga komoditas yang turun memicu pelemahan ini. Ekspor nonmigas Indonesia ke tiga negara utama, yaitu Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang, mengalami penurunan.

(Baca: Masih Terpapar Perang Dagang AS - Tiongkok, IHSG pada Jumat Pagi Turun)

Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat situasi ini sebagai sinyal perang dagang tidak akan reda dalam jangka pendek. “Karena pola konfrontasinya sangat head to head. Ketegangan akan cukup panjang,” katanya.

AS dan Tiongkok sudah mengalami perlambatan pertumbuhan. “Untuk saat ini, kita tidak mungkin mengandalkan ekspor sebagai engine of growth,” ujarnya.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun sependapat dengan hal itu. Menurut dia, kinerja ekspor sulit diandalkan tahun ini. Bank sentral kemarin mengubah proyeksi defisit transaksi berjalan tahun ini dari 2,5% menjadi di kisaran 2,5-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Prediksi pertumbuhan ekonomi pun terpangkas menjadi di bawah 5,2%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement