Mengenal Stagflasi, Fenomena Ekonomi yang Membayangi AS dan Tiongkok

Amelia Yesidora
11 November 2021, 19:25
stagflasi, inflasi, amerika serikat, pertumbuhan ekonomi
ANTARA FOTO/REUTERS/Caitlin Ochs/aww/cfo
Pada Oktober 2021, Amerika Serikat mencatat kenaikan inflasi tertinggi dalam 30 tahun terakhir.

Lonjakan tinggi harga barang dan jasa terjadi di Amerika Serikat pada bulan lalu. Angka inflasinya mencapai 6,2% dan merupakan yang tertinggi dalam 30 tahun terakhir.

Departemen Tenaga Kerja AS mencatat, harga bahan bakar minyak alias BBM naik 12,3% pada Oktober 2021. Lalu, harga makanan dan biaya tempat tinggal ikut naik. Hal ini membuat kesejahteraan para pekerja semakin tertinggal. 

Masalah tersebut kemungkinan diperburuk oleh besarnya stimulus yang diberikan Washington untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. “Peningkatan lapangan kerja akan terus mendorong permintaan barang dan jasa dan upah yang lebih tinggi,” kata Kepala Investasi Pendapatan Tetap BlackRock Rick Rieder, dikutip dari CNN, Kamis (11/11). 

Pemerintahan Presiden Joe Biden dan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), bersikeras kenaikan harga ini sifatnya sementara. Namun, pada Rabu lalu, Biden mengatakan inflasi merugikan dompet warganya. “Membalikkan tren ini adalah prioritas utama saya,” katanya.

Biden juga menyebut biaya energi dan harga gas alam sudah turun. Pada pekan lalu, Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan, meskipun inflasi tinggi, namun kondisinya tidak seburuk lonjakan inflasi pada 1970-an. Ketika itu AS berada dalam keadaan stagflasi, kenaikan harganya seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat.

Bayang-bayang stagflasi tidak bisa dianggap remeh. Selain AS, Tiongkok pun sedang mengalami hal yang sama. Semua tak lepas karena kenaikan harga minyak yang kini telah mencapai US$ 80 per barel. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir.

Forum Ekonomi Dunia (WEF) menulis, kenaikan harga energi dan kemacetan rantai pasokan telah menghidupkan kembali percakapan tentang stagflasi. Pencarian Google untuk istilah “stagflasi” telah melonjak di tengah tanda-tanda krisis energi global. 

Kenaikan minyak mentah telah mendorong gas alam mencatat rekor di Eropa. Krisis energi Tiongkok pun telah menyebabkan terganggunya rantai pasokan dan mendorong harga barang dan jasa. 

Kepala Strategi Principal Global Investor Seema Shah mengatakan kepada Financial Times, kenaikan inflasi akan berlangsung lebih lama dari prediksi awal. Lalu, Kepala Strategi Global G10 FX Bank of America Athanasios Vamvakidis menyebut stagflasi telah mengakar ke seluruh dunia.

“Kenaikan harga energi merupakan peringatan bagi pasar dan skenario yang sekarang lebih mungkin berkembang adalah AS mendapat inflasi lebih tinggi dan output yang lebih lemah,” ujar Vamvakidis.

Biro Statistik Nasional (NBS) Tiongkok menyatakan, indeks harga produsen sudah meningkat di 13.5% pada Oktober 2021, jika dibandingkan dengan tahun lalu, dan meningkat 10,7% dari bulan September. Dengan peran Negeri Panda sebagai pabrik dunia dan AS sebagai negara adidaya, kondisi ini mulai membuat negara-negara lain waspada.

USA-RACE/TULSA MASSACRE-BIDEN
Presiden AS Joe Biden. (ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria/WSJ/sa.)

Kemungkinan Stagflasi di Indonesia

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyebut, pemerintah perlu waspada terhadap kemungkinan stagflasi di Indonesia. “Tentu posisi  perlambatan ekonomi di Tiongkok yang pasti memberikan dampak terhadap berbagai perekonomian dunia dari harga komoditas sampai pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan,” ujarnya pada bulan Oktober lalu.

Negara ini pernah mengalami stagflasi pada 1998. Tingginya harga barang dan banyaknya uang yang beredar di masyarakat menyebabkan nilai uang menurun. Secara global, ketika itu nilai tukar rupiah dengan dolar Amerika pun anjlok.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...