Pertahanan Siber Indonesia Jadi Tugas Penting Panglima TNI Baru

Abid Abdurrahman Adonis
Oleh Abid Abdurrahman Adonis
20 November 2021, 11:00
Abid Abdurrahman Adonis
Katadata/Joshua Siringo Ringo
Presiden Joko Widodo saat melantik Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai Panglima TNI pada Rabu (17/11) siang.

Dalam uji kepatutan dan kelayakan calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) awal November lalu, Jenderal Andika Perkasa menyebutkan salah satu prioritas utama kepemimpinannya adalah penguatan keamanan siber.

Pernyataan Andika itu adalah pertanda positif bagi masa depan keamanan dan pertahanan siber Indonesia. Laporan Check Point Software Technologies menunjukkan, serangan siber di Indonesia terjadi tujuh kali lebih banyak rata-rata dunia dengan sektor pemerintah dan militer, manufaktur, dan perbankan menjadi tiga sektor yang paling terimbas serangan siber.

Salah satu kejadian mencolok terakhir adalah peretasan situs Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada Oktober lalu. Fokus pada pertahanan siber oleh TNI menjadi keniscayaan dan kini memiliki kegentingan ekstra.

Indonesia telah memiliki fondasi yang relatif dalam pertahanan siber, namun ini belum cukup untuk menghadapi pelbagai tantangan  yang terus berkembang. Setidaknya, terdapat tiga tantangan besar pertahanan siber yang harus diselesaikan oleh Panglima TNI yang baru.

Fondasi baik

Dalam hal pertahanan siber, secara kelembagaan, TNI telah memiliki rujukan regulasi berupa Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Teransaksi Elektronik. TNI juga mengacu pada Pedoman Pertahanan Siber yang dirilis oleh Kementerian Pertahanan pada 2014.

Dengan segala kritik terkait peraturan-peraturan tersebut, ruang regulasi ini mampu memberikan fleksibilitas bagi TNI untuk mengambil inisiatif di bidang pertahanan siber, di antaranya dengan pembentukan Satuan Siber (Satsiber) TNI.

Keluwesan ini juga didukung adanya sinergi lintas kelembagaan dalam penguatan pertahanan dan keamanan siber dengan BSSN, Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan kepolisian.

Dalam beberapa tahun terakhir, pertahanan siber juga menjadi pembahasan reguler antara tiga matra TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara). Berkembangnya diskursus ini telah mendorong pembuatan kebijakan pertahanan siber di kalangan TNI, seperti mulai pelaksanaan rutin latihan operasi pertahanan siber di semua matra dan sejumlah inisiatif peningkatan kapasitas prajurit.

Jenderal TNI Andika Perkasa
Jenderal TNI Andika Perkasa (kiri).  (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.)

Tiga tantangan

Tantangan terbesar muncul dari dalam internal kelembagaan TNI. Walau telah menjadi hal yang rutin yang terucap dan tertulis dalam berbagai kesempatan, pertahanan siber masih belum menjadi wacana utama.

Ini adalah persoalan budaya strategis (strategic culture) dan doktrin militer yang masih menempatkan isu pertahanan dan keamanan siber sebagai isu keamanan non-tradisional.

Budaya strategis Indonesia, mengutamakan pertahanan fisik – khususnya darat – dan pandangan yang ke arah dalam (inward-looking) dalam melihat potensi ancaman pertahanan dan keamanan.

Akibatnya, pertahanan siber menjadi nomor dua dalam prioritas strategis, politik anggaran dan pengadaan sumber daya.

Tantangan kedua adalah tantangan lintas kelembagaan, yaitu adanya persepsi berbeda terkait ancaman keamanan dan pertahanan siber di antara lembaga-lembaga.

Perbedaan ini berdampak pada pendekatan pengambilan kebijakan yang silang sengkarut. Hal ini juga berkaitan dengan sifat ancaman siber yang kerap mengaburkan batas antara isu pertahanan dan keamanan, domestik dan internasional, maupun tradisional dan non-tradisional.

Tantangan ketiga adalah semakin rumitnya dinamika strategis di kawasan Indo-pasifik. Persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) dan Cina akan menjadi lanskap utama dinamika keamanan kawasan hingga beberapa dekade ke depan yang berpotensi menempatkan Asia Tenggara sebagai episentrum konflik.

Pertempuran siber telah, sedang, dan akan menjadi bagian utama yang mewarnai lanskap geopolitik tersebut.

AS dan sekutunya telah berulangkali menuduh Cina melakukan serangan siber. Terakhir, kesepakatan aliansi AUKUS antara AS, Australia, dan Inggris menyisipkan kerja sama siber, Artificial Intelligence, dan teknologi kuantum sebagai instrumen untuk menggentarkan Cina.

Halaman:
Abid Abdurrahman Adonis
Abid Abdurrahman Adonis
DPhil/PhD Student in Information, Communication, and the Social Sciences, Oxford Internet Institute
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...