• Pendidikan kepercayaan tradisionalnya menjadi upaya pemerintah melestarikan kepercayaan tradisional di Indonesia.
  • Namun, masih ada masalah kepastian hukum soal status pengajar di tengah aturan setiap guru harus memiliki ijazah S1.
  • Guru pengajar agama Marapu di Sumba Timur, NTT  hanya mendapat uang transportasi sebesar Rp 300 ribu per bulan.

Selama bertahun-tahun, Linse Wey Lepir mendapat pelajaran agama Kristen saat bersekolah di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pendidikan ini ia terima dari jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Masalahnya cuma satu, Linse bukan penganut agama Kristen.

Ia adalah penghayat kepercayaan Marapu, sebuah kepercayaan tradisional masyarakat Pulau Sumba. Marapu secara harafiah berarti “yang sudah tuntas”. Ini dapat berarti nenek moyang atau leluhur. Penghayat Marapu memuja leluhur sebagai perantara mereka dengan Tuhan.

Meski kepercayaan asli Sumba, Marapu tidak diajarkan di sekolah-sekolah di sana hingga 2018. Bertahun-tahun pula, ribuan anak-anak Marapu di Sumba tidak terpapar pendidikan kepercayaannya sendiri di sekolah formal.

Satu-satunya pilihan adalah mengikuti pelajaran agama resmi yang diakui pemerintah. Bahkan, beberapa penghayat Marapu justru mendapat diskriminasi di lingkungan sekolahnya jika tidak mengikuti pelajaran agama lain.

Kondisi tersebut perlahan-lahan berubah. Marapu mulai diajarkan di SMA Negeri 1 Rindi Umalulu pada 2018. Ini menjadi sekolah formal pertama yang mengajarkan pendidikan aliran kepercayaan di Sumba.

Linse menempuh pendidikan di sekolah itu. Siswi kelas XI ini menerima pelajaran kepercayaan Marapu sejak kelas X. “Di sekolah, kami diajari sejarah Marapu dan tata cara ritual-ritualnya,” katanya ketika ditemui di Kampung Raja Prailiu, Sumba Timur, NTT, Rabu (24/5).

Mata pelajaran itu ia pelajari setiap Rabu dan Kamis. Linse kini merasa dirinya dapat diterima di sekolah . "Kami setara dengan teman-teman lainnya," ucapnya. 

Penghayat kepercayaan Marapu
Linse Wey Lepir, siswa kelas XI penghayat kepercayaan Marapu yang bersekolah di SMAN 1 Rindi Umalulu, Sumba Timur, NTT. (Katadata/Reza Pahlevi)

Kepala Sekolah SMAN 1 Rindi Umalulu Benyamin Nimrud Djutallo bercerita tantangan awal memberi pendidikan Marapu adalah mencari tenaga pengajarnya. Kesulitan ini karena syarat pendidik sekolah negeri harus memiliki ijazah sarjana strata satu.

“Waktu itu, pertanyaannya siapa yang pantas mengajar? Banyak sarjana di Sumba yang S1, tapi sedikit yang paham Marapu,” kata Benyamin.

Awalnya, SMAN 1 Rindi Umalulu menunjuk seorang penghayat kepercayaan lulusan SMA untuk mengajar. Namun, ini hanya bertahan dari 2018 sampai 2020.

Ketika kepala sekolah berganti, pendidik Marapu tersebut sempat berhenti. Penyebabnya, kepala sekolah ketika itu taat dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang mengharuskan pengajar memiliki ijazah S1.

Benyamin mencoba menghidupkan kembali pendidikan Marapu ketika menjabat kepala sekolah pada 2022. “Siapa yang dapat memberikan pengajaran kepada mereka jika bukan sekolah?” katanya.

Ini dimulai dari mengadakan bimbingan teknis untuk calon pengajar Marapu. Bimbingan ini bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Kini, SMAN 1 Rindi Umalulu sudah memiliki satu penyuluh kepercayaan Marapu bersertifikat yang tetap. Total ada 70 peserta didik penghayat Marapu di sekolah ini. Sebanyak 33 anak di kelas X, 21 anak di kelas XI, dan 16 anak di kelas XII.

Bagian dari Pelestarian Kepercayaan Tradisional

Mendidik anak-anak Sumba dengan kepercayaan tradisionalnya adalah bagian dari upaya pemerintah melestarikan kepercayaan tradisional di Indonesia. Direktur Kepercayaan dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek Sjamsul Hadi mengatakan ada kekhawatiran putusnya perpindahan pengetahuan kepercayaan tradisional di Indonesia.

“Ketika tetuanya meninggal, sementara yang muda tidak mendapat transfer knowledge kepercayaannya, kami khawatir itu putus,” kata Sjamsul saat diwawancara di Hotel Kambaniru, Sumba Timur, NTT, pada Rabu lalu.

Pada 1982, Marapu adalah kepercayaan yang dihayati oleh mayoritas masyarakat Sumba. Jumlah penghayat kepercayaan Marapu mulai terkikis pada 1990-an. Pada 2023, penduduk kepercayaan Marapu hanya tersisa 6,75% atau 16.790 orang dari total penduduk di Sumba Timur.

Sebagai informasi, penduduk Nusa Tenggara Timur menjadi yang paling banyak menganut aliran kepercayaan. Jumlahnya sebanyak 35.877 jiwa atau 0,65% dari total penduduk NTT.

Benyamin mengatakan usaha ini tidak Kemendikbudristek lakukan sendirian. Untuk melestarikan Marapu, Kementerian bermitra dengan Marungga Foundation dan Sumba Integrated Development (SID).

Kemitraan Marungga dan SID ini menghasilkan proyek Lii Marapu. Ini inisiatif untuk meningkatkan akses pendidikan dan sosial bagi penghayat Marapu di Sumba Timur. Proyek tersebut didanai oleh Voice Global, sebuah lembaga swadaya yang fokus mendukung hak kelompok-kelompok termarjinalkan.

Halaman:
Reporter: Reza Pahlevi
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement