Dirut Bank Jago: Semua Bank Akan Bertransformasi Jadi Digital

Syahrizal Sidik
16 September 2023, 10:00
Direktur Utama PT Bank Jago Tbk (ARTO) Arief Harris Tandjung
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo Ringo
Direktur Utama PT Bank Jago Tbk (ARTO) Arief Harris Tandjung.

Direktur Utama PT Bank Jago Tbk (ARTO) Arief Harris Tandjung menyebut kolaborasi ekosistem menjadi kunci bank digital bisa bertumbuh kencang. Saat ini, dengan ekosistem PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO), perusahaan terus menjajaki potensi kolaborasi yang baru. 

Sekitar 35% dari 8,3 juta nasabah Bank Jago dikontribusi dari ekosistem Gojek Tokopedia. Hasil kolaborasi ini terefleksi dengan pertumbuhan pembiayaan dan kredit di semester pertama tahun ini yang mencapai 54% secara tahunan menjadi Rp 11,2 triliun.

Sedangkan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) Bank Jago tercatat tumbuh 65% menjadi Rp 10,1 triliun. Bukan tak mungkin, kata dia, angka kontribusi 35% akan terlampaui di akhir tahun ini dengan besarnya basis pengguna Gojek Tokopedia di Indonesia.  

Arief juga menyebut kolaborasi antara bank dengan teknologi finansial (fintech) juga menjadi kunci memenangkan persaingan bank digital. “Apakah semua bank digital juga harus tergabung dalam ekosistem? Menurut saya tidak harus, tapi butuh waktu yang lebih lama, dengan ekosistem bisa lebih cepat,” kata Arief, dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id, di sela acara Focus Grup Discussion Bank Jago di Kuta, Bali, Kamis pekan lalu (7/9).

Bila dicermati, pelaku industri bank digital yang ada di Tanah Air hampir seluruhnya bernaung dalam ekosistem. Superbank misalnya, tergabung dalam ekosistem Grup Emtek, kemudian PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) tergabung dalam ekosistem CT Corp dan Salim Grup. PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) terafiliasi dengan fintech Akulaku. SeaBank, bank digital milik SEA Limited terafiliasi dengan ekosistem lokapasar Shopee. Terakhir, Blu by BCA juga bernaung dalam ekosistem keuangan Grup BCA. 

Lantas, seperti apa lanskap dan potensi bank digital di Indonesia ke depan? Berikut ini petikan wawancaranya: 

Aplikasi Bank Jago
Aplikasi Bank Jago (Humas Bank Jago)

Persaingan bisnis bank dengan fintech kian sengit, bagaimana Anda melihat fenomena hal ini?

Menurut saya, kita selalu menggunakan kata kolaborasi antara fintech dengan bank. Kenapa? Karena kita melihat fintech sebagai industri punya kelebihan. Bank juga memiliki kelebihan tersendiri.

Ada hal yang bisa fintech lakukan, mungkin bank tidak bisa melakukannya. Tapi at the same time, ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan fintech karena secara regulasi tidak memungkinkan, hanya bisa dilakukan oleh bank. 

Jadi, menurut saya bukan persaingan, tetap harus kolaborasi antara bank dengan fintech untuk memberi produk terbaik kepada penggunanya. Saya selalu percaya, kolaborasi antara fintech dengan bank akan memberikan sesuatu yang positif kepada konsumen. 

Kasus Silicon Valley Bank membuat banyak startup di Amerika tumbang. Bagaimana mitigasi risiko Bank Jago sebagai bank yang juga mendanai ekosistem startup?

Kami percaya dengan technology based bank atau bank digital itu harus menggabungkan dua sisi. Satu sisi, bagaimana melayani nasabah menggunakan teknologi digital melalui kolaborasi ekosistem dan sebagainya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bank digital itu adalah bank. Ada prinsip-prinsip fundamental yang harus dijaga. 

Apa itu?

Ada tiga hal, menurut saya. Pertama, risk management, seperti operational risk, liquidity risk, dan lain sebagainya. Kedua, balance sheet management, bagaimana menjaga capital, asset liability management. Ketiga, aspek regulasi. Tiga hal ini fundamental to be a bank, kalau tidak punya balance yang baik dari kedua sisi ini, maka kami akan punya masalah. 

Kasus SVB itu kan bukan kredit macet, tapi yang terjadi mismatch antara pendanaan yang mereka terima dengan aset yang mereka investasikan dalam jangka panjang. Mereka memilih US Treasury, obligasi pemerintah Amerika Serikat, yang secara logika betul itu aman. Tetapi, terjadi mismatch karena pendanaan startup bersifat jangka pendek.

Begitu terjadi perubahan kebijakan makroekonomi, The Fed, bank sentral AS, menaikkan suku bunga acuan, nilai investasi dari US Treasury ini menjadi terdiskon, karena mereka mungkin belinya di saat suku bunga rendah, tapi sekarang sudah tinggi. Kalau mereka mau jual, harus didiskon, sehingga tidak bisa membayar deposannya. Artinya, asset liability management-nya secara manajemen risiko tidak tertata dengan baik.

Sinergi Bank Jago dengan ekosistem GOTO, apa peluang-peluang baru yang dijajaki saat ini?

GoTo Financial dari sejak awal adalah strategic partner-nya Bank Jago. Karena kami sadar, kalau tumbuh secara organik butuh waktu lama untuk mencapai skala ekonomi yang kami inginkan. Kedua, GoTo Financial memiliki eksposur yang lebih besar karena memiliki jutaan pengguna aktif. Bank Jago akan diuntungkan karena kami akan melayani nasabah yang sudah aktif di ekosistem GOTO dan memberikan nilai tambah kepada nasabah tersebut yang sudah ada sekarang. 

Ke depan saya pikir, hasilnya akan lebih baik lagi. Saya percaya, mungkin dengan Pak Patrick Walujo sebagai CEO GoTo dapat juga men-drive sehingga kolaborasi ini bisa menjadi lebih cepat lagi. 

Ekosistem GOTO saat ini berkontribusi 35% dari 8,3 juta nasabah Bank Jago, targetnya sampai akhir tahun bisa mencapai level berapa?

Kalau target, kami mau sebanyak-banyaknya. Targetnya saya tidak bisa katakan. Tapi saya melihat GOTO punya banyak sekali penggunanya jutaan. Saya pikir potensi meningkatkan persentase 35% ke angka yang lebih tinggi itu akan sangat terbuka. 

Mungkinkah ekosistem GOTO berpotensi menjadi mayoritas dari nasabah Bank Jago?

Saya berpikir, bisa saja karena mereka partner strategis yang terbesar. Di samping memang kami juga terus mengembangkan pertumbuhan di luar ekosistem GOTO dengan partner yang lain. Prinsip kami adalah berkolaborasi dengan partner dengan GOTO ekosistem merupakan yang terbesar. 

Dalam pipeline saat ini, ada berapa partner yang akan ditambah?

Pasti ada, (di pipeline terdapat) mitra yang sudah cukup serius (melakukan penjajakan). Itu adalah bagian dari bisnis sebetulnya. Seperti kami mengembangkan bisnis yang lain, ada yang mencari nasabah baru, customer baru, mitra baru. Karena kalau kami ingin tumbuh, perlu berkolaborasi dengan mitra. 

Sektor apa yang saat ini sedang disasar?

Sektor financial service, (tergabung dalam) ekosistem. Karena kami memiliki partner untuk mengembangkan produk-produk pinjaman. Tapi kami juga melihat, misalnya, beberapa perusahaan yang kami bantu dari sisi payment dan sebagainya. 

Bank Jago
Bank Jago (Humas Bank Jago)

Bagaimana update terkait restrukturisasi kredit dan posisi LAR saat ini?

Restrukturisasi kredit kami mencapai Rp 90 miliar. Rasio kredit yang berisiko (LAR) di bawah 10%, masih di bawah rata-rata industri, tepatnya di kisaran 8-9%. Bukannya kami hebat, enggak. Ini karena kami memulainya setelah pandemi Covid-19. Ada beberapa nasabah yang lama dari Bank Artos selama Covid-19 tapi jumlahnya sedikit. Tentunya, dampaknya kepada Bank Jago itu kecil. 

Pemerintah juga berencana hapus buku dan hapus tagih kredit UMKM, bagi Jago apa dampaknya?

Kami saat ini akan melihat kriterianya seperti apa. Mungkin akan berbeda dengan yang sejak direstrukturisasi lama tetap tidak bisa membayar. Yang seperti itu tidak banyak, karena kami memulainya dari setelah Covid-19.

Target penyaluran kredit tetap dua digit sampai akhir tahun?

Kami tentunya saat ini kan year on year tumbuhnya sudah 54%. Saya rasa mungkin pertumbuhannya dua digit.

Ada rencana menghimpun pendanaan dari pasar modal untuk menggenjot kredit?

Saya bisa pastikan sampai akhir tahun tidak ada rencana tersebut. Capital kami juga cukup. 

Perang bunga deposito masih marak di bank digital, bagaimana dengan Jago?

Kami tidak pernah ikut-ikutan perang bunga, ya. Karena buat kami itu, price itu bukan satu-satunya cara untuk attract customer. Ya, bunga itu penting, tapi harus holistik dari sisi produknya baik, memberi kemudahan bagi customer-nya, mereka juga percaya kepada banknya. Bunga itu hanya salah satu komponen saja.

Ada rencana Bank Jago memfasilitasi deposito dalam valuta asing?

Kami lagi apply untuk bank devisa. Ada pasarnya karena nasabah Bank Jago banyak yang bertransaksi di luar negeri. Debit kami bisa dipakai di luar negeri, tapi masih konversi ke rupiah. Kalau sudah ada valas, nanti tinggal pilih rekening valas, jadi tidak ada konversi lagi. 

Terkait sistem pembayaran ke depan, bagaimana Anda melihat potensi aset kripto?

Itu salah satu hal yang menjadi opsi. Tentunya masih banyak yang mesti dilihat dari sisi regulatornya. Kripto diciptakan karena orang enggak mau diatur tapi at the same time, masalah-masalah keamanan. Bagaimana nanti menangani soal money laundering, terrorism, itu harus dilihat. Kalau kripto kan nobody knows. 

Bagaimana peta bank digital di Indonesia menurut Anda?

Semua bank akan bertransformasi menjadi bank digital, tergantung levelnya. Bank digital itu bukan dikotomi antara bank digital dengan bank konvensional. Semua bank akan memiliki layanan dalam bentuk digital.

Ini bedanya Indonesia dengan Singapura. Mereka harus punya lisensi bank digital. Apakah semua bank digital juga harus tergabung dalam ekosistem? Menurut saya tidak harus tapi butuh waktu yang lebih lama, dengan ekosistem bisa lebih cepat. 

Regulasi apa yang dibutuhkan agar inovasi bank digital terus berkembang?

Harus sesuai dengan keadaan. Bank digital itu sebetulnya produknya basic, yaitu tabungan, deposito, pinjaman dan sebagainya. Bedanya semua produk itu ditawarkan di aplikasi, tanpa kantor cabang.

Nanti regulasi menjaga supaya keamanan dan know your customer-nya seperti apa, mitigasinya sepertinya apa. Jadi, hal-hal seperti ini berjalan sesuai dengan proses secara natural saja. 

Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...