Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI
  • Persoalan nikel dan hilirisasi menjadi perdebatan hingga memanas saat debat cawapres.
  • Penurunan harga nikel membuat upaya dekarbonisasi lebih lambat dan mahal
  • Produsen dan pemilik smelter nikel mulai terdampak. 

Nama Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong ramai disebut dalam pemberitaan dalam sepekan terakhir. Co-Captain TimNas AMIN ini mengkritik kebijakan hilirisasi nikel, dengan membangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian), yang sedang digenjot pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Menurut Tom, harga komoditas tambang itu sudah turun lebih 30% dalam 12 bulan terakhir. Kelebihan pasokan menjadi pemicunya. Kondisi ini diperburuk dengan banyak produsen baterai yang mulai tak menggunakan nikel, yang disebut lithium-besi-fosfat atau LFP.

“Dengan begitu gencarnya bangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian), kita membanjiri dunia dengan nikel,” kata mantan menteri perdagangan era Jokowi itu dalam cuplikan video di kanal YouTube Total Politik

Pada Jumat lalu (19/1), ia kembali mengatakan ketidaksetujuan dengan hilirisasi nikel. “Saya prihatin bahwa intervensi yang berlebihan di sektor smelter menciptakan over capacity dan over supply, yang ujungnya merugikan semua,” ucapnya.

Yang diuntungkan dalam kondisi ini justru pihak asing alias para pembeli. “Tujuan hilirisasi malah kebalikan dari yang kita harapkan,” kata Tom. 

Dalam kesempatan yang sama, putra Presiden RI ke-3 BJ Habibie, yaitu Ilham Habibie, turut berkomentar. Strategi yang sekarang dilakukan pemerintah tidak cukup. “Seharusnya bukan membangun smelter atau baterai tapi lompatnya agak jauh ke mobil, sepeda motor, dan sebagainya,” kata pria yang berprofesi sebagai tech-entrepreneur itu. 

Produk final menjadi penting untuk mengembangkan industrinya. “Tidak ada contoh di dunia ini satu negara bisa keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah tanpa sektor industri yang kuat,” ujar Ilham. 

Kritik Tom lalu berlanjut saat debat calon wakil presiden pada Minggu malam (21/1). Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka menyebut Tom Lembong setidaknya tiga kali pada acara tersebut. 

Dua yang terakhir saat ia mengutarakan pertanyaan terkait baterai LFP. Muhaimin tampak tak mengerti dengan istilah tersebut. “Lithium ferro-phosphate. Itu sering digaungkan Pak Tom Lembong,” ucap Gibran. 

Menurut dia, aneh kalau Muhaimin tak bisa menjawab persoalan LFP karena timses AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) sering membahas ini. “Saya enggak tahu ya Pak Tom Lembong dan timsesnya sering enggak diskusi dengan cawapresnya. Masa cawapresnya enggak paham. Aneh loh,” ucapnya.

Menanggapi pernyataan terakhir itu, Cak Imin menyebut diskusi yang berlangsung sebaiknya memakai etika. Debat Pilpres membahas soal kebijakan, bukan main tebak-tebakan definisi dan singkatan. “Kita levelnya adalah policy dan kebijakan,” katanya. 

Harita Nickel
Produk tambang nikel. (Dokumentasi Harita Nickel)

Dulu Dipuja, Kini Menderita

Mengacu pada data Bursa Metal London, nikel menjadi logam dasar berkinerja buruk pada tahun lalu. Harganya anjlok 45% sepanjang 2023. Media komoditas asal Inggris, Fastmarkets, menyebut laju investasi smelter nikel perusahaan Cina mungkin melambat pada tahun ini.

Harga nikel yang terus merosot berpotensi mengikis keuntungan perusahaan. Padahal, dalam kurun empat tahun terakhir, perusahaan smelter Tiongkok telah berbondong-bondong masuk ke Tanah Air demi mengolah hasil tambang tersebut.

Indonesia yang disebut-sebut sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia memang menjadi sasaran Negeri Panda. Terutama ketika Beijing sedang gencar menggenjot produksi kendaraan listrik negaranya. 

Sejak 2020, pemerintah Indonesia menerbitkan larangan ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7%. Kebijakan yang efektif per 1 Januari pada tahun tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.

Jauh sebelum itu, kebijakan hilirisasi tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara alias UU Minerba. Aturan tersebut lalu masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja, yang berubah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. 

Inti dari aturan-aturan tersebut adalah perusahaan tambang harus meningkatkan nilai ekonomi produk tambangnya sebelum diekspor keluar. Pembangunan smelter menjadi jalan keluar. Nikel yang diekspor tidak lagi berupa bentuk bijih tapi sudah menjadi produk turunan baru. 

Pada 2020, Indonesia memiliki 13 smelter nikel. Tahun ini targetnya ada penambahan 17 pabrik pemurnian dan pengolahan nikel sehingga totalnya mencapai 30 smelter

Pemerintah lalu menggenjot investasi asing untuk pembangunan smelter nikel. Ada empat kawasan utama, yaitu Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah, Kawasan Industri Konawe di Sulawesi Tenggara, Kawasan Industri Bantaeng di Sulawesi Selatan, dan Kawasan Industri Weda Bay di Maluku Utara.  

Langkah pemerintah berhasil menggenjot ekspor nikel. Sepanjang 2022, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angkanya mencapai 777,4 ribu ton atau naik 367% dibanding tahun sebelumnya. 

Nilai ekspornya juga melonjak 369% secara tahunan menjadi US$ 5,97 miliar. Kedua angka tersebut merupakan rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir, seperti terlihat pada grafik di bawah ini. 

Namun, penurunan harga nikel global pada tahun ini langsung menggerus angka ekspor Indonesia. BPS mencatat nilai ekspor nikel turun 4,09% secara bulanan pada Desember lalu menjadi US$ 521,8 juta. 

Volume ekspor juga turun 14,06% menjadi 126 juta ton. “Ada indikasi penurunan ini disebabkan turunnya permintaan dari negara tujuan ekspor,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini beberapa waktu lalu. 

Data BPS juga menunjukkan harga bijih nikel turun 3,3% secara bulanan dan 43,14% secara tahunan. Pada Desember 2022 angkanya mencapai US$ 28.900 per metrik ton. Setahun kemudian menjadi US$ 16.500 per metrik ton. 

Wall Street Journal menulis, nikel bukan satu-satunya bahan baku baterai yang harganya anjlok dan pasokan melimpah. Lithium mengalami nasib serupa. Harganya anjlok ke level termurah dalam dua tahun terakhir. Kobalt pun berada di titik terendah dalam empat tahun terakhir. Ketiganya biasa diolah menjadi baterai lithium ion.

Sebenarnya ini bisa menjadi kabar baik. Harga baterai untuk kendaraan listrik menjadi lebih murah. 

Namun, harga yang terus anjlok berpotensi menunda investasi sektor baterai yang berperan penting dalam transisi energi global. “Pada akhirnya membuat peralihan ke ekonomi hijau menjadi lebih lambat dan mahal,” tulis Wall Street Journal pada 28 Desember lalu. 

Semua masalah ini terjadi karena pertaruhan terlalu tinggi pada baterai dan kendaraan listrik. Bermula ketika Cina menghapus lockdown di pengujung pandemi Covid-19. Para analis ketika itu memprediksi ekonomi Negeri Panda akan menggeliat kembali, industri kendaraan listrik semakin berkembang. 

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat. Efek perang di beberapa negara membuat inflasi tinggi. Banyak negara lalu menerapkan kebijakan suku bunga tinggi. Produksi baterai dan EV pun ikut tertekan. 

Bloomberg NEF menyebut ekspektasi industri baterai dan EV selama ini terlalu tinggi. Ketika pasokan meningkat dan permintaan tidak mencapai target, harga pun turun. 

“Sebelum ada Covid-19, ada kekhawatiran mengenai pasokan,” kata kepala logam dan pertambangan Bloomberg NEF Kwasi Ampofo. “Namun, kondisi sekarang permintaan tidak mencukupi pasokan.”

Prediksinya, pasokan tiga bahan baku utama baterai, yaitu lithium, kobalt, dan nikel, akan tetap melebihi permintaan pada 2024. Produsen akan mempertimbangkan pengurangan produksi untuk menyeimbangkan pasar dan membendung kerugian.

Surplus nikel global bahkan diperkirakan akan melebihi surplus lithium dan kobalt. Di sisi lain, permintaan baterai global masih dalam tren positif. Angkanya akan mencapai 3,6 terawatt pada 2030 atau naik dari 0,95 terawatt pada 2023. Pasar baterai lithium-ion akan melampaui US$ 300 miliar pada 2031, lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2023. 

Namun, harga yang terus-menerus rendah dapat menunda pengembangan sumber daya baru. Hal ini dapat menciptakan kekurangan dan menaikkan harga baterai dalam jangka panjang dan memperlambat upaya dekarbonisasi. 

International Nickel Study Group memperkirakan surplus nikel global akan melebar dari 223 ribu ton pada 2023 menjadi 239 ribu ton pada tahun ini. Untuk harganya, Citigroup memprediksi penurunan ke level US$ 15.500 per ton pada tiga bulan ke depan. Angka ini lebih kecil dari perkiraan sebelumnya di US$ 18 ribu per ton. 

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyebut Indonesia memiliki peran penting dalam menurunkan harga nikel. “Karena hasil tambang nikelnya besar dan smelter yang dibangun sudah over capacity,” ujarnya. 

Dampaknya, tujuan hilirisasi, yaitu memberi nilai tambah dan membangun ekosistem kendaraan listrik, tidak tercapai. Sebab, Indonesia baru dapat menghasilkan produk turunan pertama dan kedua nikel. Hasilnya langsung diekspor ke negara lain, tanpa ada upaya membangun sampai produk final. 

“Yang dinikmati Indonesia jadi hanya sekitar 30%, sedangkan 70%-nya justru dinikmati investor Cina,” kata Fahmy. 

Dengan kondisi sekarang, menurut dia, pemerintah perlu melakukan antisipasi. Riset dan pengembangan produk nikel menjadi penting. Apalagi banyak produsen kendaraan listrik sekarang tidak lagi menggunakannya. Banyak perusahaan otomotif beralih ke baterai non-nikel, yaitu LFP. 

Menurut data Badan Energi Internasional (IEA), pemakaian baterai lithium-ion (berbahan baku nikel) mencapai 78% pada 2022, sedangkan LFP hanya 27%. Namun, permintaan LFP terus naik karena produsen mobil listrik buatan Cina banyak memakainya. Contohnya BYD dan Wuling.

Tesla juga mulai memakai LFP pada 2021. Pemakaiannya pada 2022 mencapai 30% dari total mobil listriknya. Produksi EV Tesla di Cina sebagian besar memakai baterai tersebut.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mencatat, 75% mobil listrik yang dijual di Indonesia pada 2022 memakai baterai LFP. Salah satunya adalah Wuling Air Ev.

Peleburan Nikel
Peleburan Nikel (PT Antam Tbk)

Produsen Nikel Mulai Terdampak

Penurunan harga nikel telah memakan korban. Perusahaan tambang terbesar dunia, BHP Group LTd, mengumumkan sedang mengevaluasi bisnis nikelnya. Reuters menulis, perusahaan berencana menunda proyek nikel senilai US$ 1,2 miliar di West Musgrave, Australia. 

Bloomberg melaporkan, Wyloo Metals Pty Ltd dan First Quantum Minerals Ltd juga akan menutup tambang nikelnya di Australia. Pada 20 Desember, Nanjing Hanrui Cobalt memutuskan membatalkan proyek smelter high pressure acid atau HPAL yang memiliki kapasitas 60 ribu ton nikel. Perusahaan berpendapat kondisi pasar saat ini tidak menguntungkan. 

Namun, tambang di Indonesia, yang menyumbang setengah pasokan global, tampak lebih tahan dalam pengurangan produksi. Penyebabnya, negara ini memiliki biaya tenaga kerja dan listrik murah. Bahan mentahnya pun mudah didapat. “Proyek-proyek di Indonesia lebih fleksibel dalam menyerap dampak penurunan harga nikel,” analis Bloomberg NEF Allan Ray Restauro. 

Tapi bukan berarti tidak ada masalah di Tanah Air. Kecelakaan di smelter milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) dan PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) pada 24 dan 28 Desember 2023 menambah daftar panjang kejadian serupa. Isu soal keselamatan kerja dan aspek lingkungan terus menjadi sorotan. 

Sejak 2015 terdapat 65 insiden kecelakaan di smelter nikel yang melibatkan 10 perusahaan Tiongkok. Dari segi korban jiwa, kejadian di ITSS memakan korban paling banyak, yaitu 21 jiwa. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sepanjang 2022 hingga 2023, tidak ada satu pun perusahaan terkena sanksi atas kecelakaan tersebut. 

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno menyebut tahun ini akan ada sedikit kenaikan produksi bijih nikel. “Karena ada smelter baru yang beroperasi,” ucapnya pada pekan lalu. Pihaknya masih menghitung estimasi total produksi tersebut. 

Terkait penurunan harga, menurut dia, kondisi ini tidak hanya persoalan suplai dan permintaan saja. Ada banyak faktor. Namun, hilirisasi nikel tetap menjadi penting karena sejauh ini Indonesia baru dapat menghasilkan produk antara. “Harapannya dengan hilirisasi dapat menciptakan multiplier effect, kemudian produknya mendekati sampai ke industri hilir,” ucapnya. 

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto masih optimistis permintaan nikel akan naik. Sebab, pemakaian LFP hanya cocok di negara tropis, seperti Indonesia. "Pasar Amerika Serikat dan Eropa mayoritas kendaraannya akan memakai baterai berbasis nikel," ucapnya kepada Katadata.co.id

Perusahaan baterai asal Cina, Poweroad, mencatat baterai LFP mampu diisi ulang hingga 3 ribu kali sebelum performanya menurun. Sedangkan baterai nikel-mangan-kobalt (NMC) hanya dapat diisi ulang 800 kali.

Baterai LFP juga tahan terhadap guncangan, tekanan berat, tidak mudah meledak atau terbakar karena stabil di suhu panas. Namun, kekurangannya adalah kandungan kepadatan energinya yang rendah dibandingkan NMC. 

Dari sisi produsen, PT Trimegah Bangun Persada Tbk atau Harita Nickel masih akan beroperasi sesuai kapasitas dan target produksi tahun ini. “Kami fokus memastikan ketersediaan pasokan dan melanjutkan produksi untuk memenuhi permintaan pasar,” ucap Direktur Utama Harita Nickel Roy Arman Arfandy kepada Katadata.co.id pada pekan lalu. 

Perusahaan kini mengoperasikan dua smelter RKEF untuk pengolahan bijih nikel kadar tinggi (saprolit) dan satu fasilitas pemurnian HPAL untuk pengolahan bijih nikel kadar rendah (limonit). 

RKEF atau rotary kiln electric furnace adalah teknologi smelter memakai tungku putar dan listrik untuk mengubah bijih nikel saprolit menjadi NPI. Sedangkan HPAL atau high pressure acid leaching adalah teknologi smelter yang memakai asam sulfat untuk melarutkan bijih nikel. 

Secara kapasitas terpasang, Harita Nickel menargetkan produksi nikel berada di 120 ribu ton per tahun dalam bentuk feronikel (hasil dari saprolit) dan 120 ribu ton kandungan nikel per tahun untuk produk mixed hydroxide precipitate atau MHP (turunan limonit). 

PT Aneka Tambang Tbk mengatakan tahun ini masih berupaya meningkatkan kinerja produksi dan penjualan seluruh komoditasnya. “Pada komoditas nikel, kami akan mengoptimalkan produksi dari tambang di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Pulau Gag,” kata Corporate Secretary Antam Syarif Faisal Alkadrie. 

Reporter: Amelia Yesidora, Mela Syaharani, Andi M. Arief

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami