Bursa Karbon Dimulai Akhir September, 99 PLTU Berpotensi Ikut Serta
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan siap mengawasi proses perdagangan karbon melalui Bursa Karbon yang rencananya mulai diselenggarakan akhir September ini.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi mengatakan OJK telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.14/2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon sebagai aturan pendukung dalam penyelenggaraan perdagangan karbon di Tanah Air. Aturan ini telah mendapat persetujuan Komisi XI DPR.
“Perkembangan tersebut tentunya meningkatkan optimisme kita untuk mencapai target penyelenggaraan perdana unit karbon di Bursa Karbon pada akhir September," kata Hasan, dalam keterangan resminya, Senin (4/9).
Hasan menambahkan, POJK bursa karbon diharapkan dapat meminimalisir multitafsir atas ketentuan perundang-undangan dan kemungkinan pelanggaran atas ketentuan.
Hal ini sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan perdagangan karbon di Indonesia, yaitu memberikan nilai ekonomi atas unit karbon yang dihasilkan ataupun atas setiap upaya pengurangan emisi karbon.
Hasan menuturkan saat ini terdapat 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara berpotensi ikut perdagangan karbon pada tahun ini. "Jumlah itu setara dengan 86% dari total PLTU Batu Bara yang beroperasi di Indonesia," ujarnya.
Tak hanya subsektor pembangkit listrik, sektor lainnya seperti sektor kehutanan, perkebunan, migas, hingga industri umum juga meramaikan perdagangan karbon di Indonesia.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara Agus Tripriyono mengatakan isu pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup sangat krusial khususnya di Sumatera Utara.
Tak hanya itu, Agus menuturkan fenomena triple planetary crisis atau krisis tiga planet seperti perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati akan menyebabkan penurunan daya tampung, khususnya kehidupan dan pertumbuhan ekonomi.
“Fenomena triple planetary crisis akan menyebabkan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang dibutuhkan sebagai penopang kehidupan dan pertumbuhan ekonomi,” ucap Agus.