Deregulasi yang dilakukan pemerintah pada 1987–1988 mendorong lahirnya Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya, membentuk fondasi kuat bagi perkembangan bursa efek di Indonesia.
Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan hingga saat ini terdapat 24 perusahaan yang antre untuk mencatatkan perdana sahamnya atau initial public offering (IPO).
Sebelum dinyatakan bangkrut, BEI telah menghentikan sementara perdagangan saham PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex di seluruh pasar sejak 18 Mei 2021.
Saham PT Totalindo Eka Persada Tbk (TOPS) bertengger di level Rp 1 dan sudah diberhentikan perdagangannya atau disuspensi. Adapun kapitalisasi pasarnya sebesar Rp 33,33 miliar.
KPK menahan tiga petinggi PT Totalindo Eka Persada Tbk (TOPS) dalam kasus korupsi, dengan kerugian negara diperkirakan Rp 223 miliar serta dugaan markup dana iklan oleh Bank BJB mencapai Rp 200 miliar
Saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) mencatat rekor tertinggi pada tahun 2024 dengan kinerja keuangan yang meningkat, dipicu oleh faktor fundamental dan pertumbuhan laba bersih serta total aset
Terkait banyaknya BUMN sakit yang tercatat di pasar modal Indonesia, BEI mengungkapkan MOU dengan Erick Thohir untuk meningkatkan skala usaha dan tata kelola perusahaan BUMN.
Investor asing kompak melego sejumlah saham perusahaan sepanjang perdagangan bursa sepekan hingga 2 Agustus 2024. BBCA dan BMRI diborong investor asing, BBRI dan BBNI paling banyak dijual.
Emiten alat fotografi, PT Global Sukses Digital Tbk (DOSS) mematok harga saham penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) Rp 135 per lembar dan berpotensi meraup dana Rp 60,75 miliar.