KATADATA - Bank Indonesia (BI) menilai penguatan nilai rupiah dalam sepekan terakhir lebih didorong oleh pergerakan di pasar valuta asing. Terutama terimbas sentimen dari data ekonomi Amerika Serikat (AS) serta rilis notulensi rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 16-17 September lalu.

Mirza Adityaswara
(Arief Kamaludin|KATADATA)
Mirza Adityaswara
“Jadi memang market driven, ada pengaruh dari berita notulen The Fed bahwa data-data ekonomi AS masih melemah,” kata Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara saat ditemui di Gedung BI, Jakarta, Jumat (9/10). Alhasil, bank sentral tidak perlu bersusah-payah melakukan intervensi untuk memperkuat rupiah. “Kami bantu (intervensi) hanya untuk mendorong (sedikit) penguatan rupiah.”

Selain faktor eksternal, menurut mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini, faktor di dalam negeri turut berperan besar mengangkat rupiah menjadi mata uang dengan kenaikan paling tinggi di kawasan Asia. Terutama yang berasal dari respons positif pasar terhadap paket kebijakan pemerintah. “Belum lagi nanti ada paket keempat, ini akan mendorong investasi dan devisa masuk serta mendorong sektor riil yang menyerap tenaga kerja,” kata Mirza.

Rupiah pada perdagangan hari ini kembali menguat tajam. Di pasar spot berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup pada posisi 13.412 per dolar AS, menguat 3,42 persen dibandingkan penutupan kemarin. Dalam sepekan, rupiah telah menguat sebesar 1.279 poin atau 8,7 persen. Artinya, hampir separuh pelemahan rupiah sejak awal tahun ini sudah berkurang yang pada pekan lalu mencapai 18,6 persen. Kini, kalau dihitung sepanjang tahun ini, rupiah cuma melemah 8,27 persen terhadap dolar AS.

Penguatan rupiah ini, menurut ekonom Universitas Indonesia Anton Gunawan, tidak lepas dari beberapa faktor di dalam negeri. Terutama, ada kaitannya dengan kebijakan BI di pasar keuangan dan informasi aliran dana asing. Kombinasi berbagai kebijakan dan kejadian dalam sepekan terakhir ini menyebabkan rupiah berbalik menguat. Penguatan rupiah secara tiba-tiba ini menyebabkan kepanikan di pasar valas sehingga investor melepas asetnya dalam dolar AS (cut loss).

Pertama, ada perubahan kebijakan BI di pasar valas, yakni dengan menaikkan volume lelang foreign exchange swap. Awalnya, salah satu kebijakan BI yang diumumkan 9 September lalu, adalah membatasi lelang foreign exchange swap dari dua kali dalam sepekan menjadi hanya sekali dengan suku bunga tetap (fixed rate).

Langkah ini, menurut Anton, telah menganggu pasar obligasi sehingga tingkat imbal hasilnya (yield) naik. Ini lantaran, investor menjual obligasinya untuk mencari dolar AS. Alhasil, rupiah melemah.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement