KATADATA - Kisruh skandal “percaloan” perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia bulan lalu menyembulkan kembali nama Muhamad Riza Chalid. Dia bersama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto diduga mengintervensi perpanjangan kontrak perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia itu.
Karena cawe-cawe ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Sudirman Said melaporkan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD) pada pertengahan November 2015. Tujuh majelis Mahkamah Kehormatan akhirnya memutuskan Setya melanggar kode etik kategori sedang dan sepuluh anggota memvonis dengan kategori berat. Namun, sebelum MKD memukul palu, Setya mengundurkan diri dari Ketua DPR.
Dalam masa persidangan sekitar dua pekan, sejumlah saksi dipanggil dan diperiksa. Namun, Riza Chalid, yang menemani Setya dalam beberapa kali pertemuan dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, tak memenuhi panggilan pertama dan kedua Mahkamah Kehormatan hingga sidang dinyatakan berakhir. (Baca: Panggilan Kedua MKD, Riza Chalid Kembali Mangkir).
Sebenarnya, bukan hanya Mahkamah Kehormatan yang berkepentingan dengan pengusaha minyak itu. Kejaksaan Agung pun sedang mengejarnya. Lelaki yang kerap dihubungankan dengan isu tak enak dalam sejumlah tender impor minyak itu menjadi saksi kunci atas dugaan permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi terkait perpanjangan kontrak tersebut.
Sumber Katadata mengatakan ketika Mahkamah Kehormatan menggelar sidang, Riza telah terbang ke Singapura. Dia meninggalkan Indonesia sehari sebelum dijadwalkan memberi kesaksian di Senayan. Ancaman Wakil Ketua MKD Junimart Girsang untuk memangil paksa Riza pun kandas.
Seorang pelaku migas memberi kabar Riza tak lama di negara tersebut. Dari sana dia melenggang ke London. “Aset Riza di Inggris banyak,” katanya.
Untuk mendatangkan Riza, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan telah berkomunikasi dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti. “Dua hingga tiga kali tidak datang, saran Kapolri ditetapkan sebagai DPO,” kata Prasetyo sebagaimana dikutip Koran Tempo, Selasa pekan lalu, 29 Desember 2015. Dengan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), kepolisian bisa minta bantuan interpol untuk membawa Riza kembali ke tanah air. Awal pekan ini, Prasetyo juga berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi membahas kasus tersebut. (Baca juga: Kejaksaan: Setya Novanto Bisa Dijerat Undang-undang Korupsi).
Masuknya Riza ke sektor tambang sempat memunculkan pertanyaan publik. Pasalnya, selama ini ia lebih dikenal sebagai sudagar minyak. Dia kerap memenangkan tender impor minyak yang digelar Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Di awal 2000, Riza sering menggunaka perusahaan Gold Manor, Global Resources, dan GT Energy untuk masuk ke anak usaha Pertamina tersebut.
Pada 2007, roda usaha Riza sempat tersandung dalam pengadaan minyak mentah jenis Zatapi sebanyak 600 ribu barel. Minyak ini dibeli Pertamina dari Gold Manor yang berbasis di Singapura. Dugaan korupsi muncul karena pembelian dilaksanakan sebelum dilakukan uji kualitas minyak.
Kontrak pengadaan minyak tersebut senilai US$ 54 juta, ketika itu setara Rp 524 miliar. Dalam kasus ini, Mabes Polri sudah menetapkan empat tersangka dari panitia tender pengadaan minyak. Aparat juga menetapkan seorang direktur Gold Manor sebagai tersangka.
Sayang, kasus ini kemudian menguap dan pada Februari 2010 polisi menghentikan penyidikan (SP3). Adapun terkait Petral, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said membekukan anak usaha Pertamina itu lantaran kerap dituding tidak efisein sejak awal tahun lalu. (Lihat pula: Pertamina Serahkan Hasil Audit Petral kepada KPK).
Setelah kasus Zatapi, nama Riza relatif hilang dari peredaran dan mencuat kembali dalam pusaran kasus Freeport. Dalam rentang itu, rupaya dia memperlebar jaringan bisnis di luar perdagangan minyak dengan merambah usaha penyewaan kapal.
Sumber lain Katadata di sektor migas mengatakan Riza beberapa kali memenangkan tender pengangkutan minyak atau gas yang dibeli Pertamina. Dari “Daftar Kontrak Pengadaan Jasa Sewa Kapal PT Pertamina (Perseroan) Perkapalan Dit Pemasaran & Niaga 2015” yang diperoleh Katadata menunjukkan dalam lima tahun terakhir perusahaan Riza memenangkan enam tender pengangkutan migas melalui sejumlah perusahaan yang terkait dengannya. “Dia relatif mudah memenuhi spec tender,” kata pelaku migas ini.
Misalnya, pada 13 Maret 2010, Kapal Navigator Pluto diserahi untuk membawa LPG. Pertamina menyewa kapal berbobot mati 23.484 deadweight tonnage (DWT) itu dari PT Navigator Khatulistiwa melalui broker penyewaan kapal PT Mahameru Kencana Abadi. Harga sewa kapal ini US$ 28.700 per hari. Dengan masa kontrak tujuh tahun, Pertamina mesti membayar US$ 73,3 juta.
Masih melalui broker yang sama, Pertamina juga merental kapal tanker LPG Gas Indonesia pada 17 Juli 2013. Kali ini harga sewa kapal berbobot mati 3.607 DWT milik PT Berlian Laju Tanker itu seharinya US$ 6.700. Untuk jangka dua tahun, total pembayaran yang mereka terima US$ 4,89 juta.
Menggunakan Kapal Navigator Aries, Mahameru Kencana dipercaya lagi membawa LPG tiga bulan kemudian. Mulai 14 Oktober 2013, kapal berbobot mati 23.330 DWT akan mengangkut komoditas Pertamina dengan biaya US$ 28.750 per hari, atau US$ 20,09 juta selama masa kontrak tujuh tahun. Sebulan kemudian, Mahameru memenangkan tender pengangkutan LPG untuk jangka waktu lima tahun dengan total sewa US$ 52,46 juta.
Tak hanya mengangkut LPG, perusahaan yang memiliki hubungan dengan Riza itu pun memenangkan tender untuk membawa minyak. Ontari, tanker crude berbobot mati 18.520 DWT disewa pada 5 Desember 2014. Untuk satu hari Pertamina mesti menyerahkan US$ 11.500 atau US$ 12,59 juta selama tiga tahun. Jauh sebelumnya, Pertamina juga menyewa kapal angkut minyak Dewi Maeswara pada 5 Januari 2010.
“Total omset PT Navigator Khatulistiwa dan PT Mahameru Kencana Abadi dalam menyewakan kapal ke Pertamina US$ 370,6 juta atau sekitar Rp 5,2 triliun,” ujar sumber tersebut.
Menurut dia, Riza masuk ke perusahaan penyewaan perkapalan tersebut melalui anak lelakinya yang menempati posisi penting dalam perusahaan-perusahaan tadi. Misalnya, dia menjabat presiden direktur PT Navigator Aries, perusahaan penanaman asing yang memikili Kapal Navigator Aries.
Bila dirunut, pemegang saham Navigator Khatulistiwa ada tiga perusahan. Pertama PT Pesona Sentra Utama dengan kepemilikan 25,5 persen. Dalam jumlah yang sama, saham tersebut dipegang PT Mahameru Kencana Abadi. Lalu sisanya dikuasi oleh Navigator Gas Invest Limited.
Kait-mengait korporasi tersebut terlihat dalam join venture agreement di antara keempat perusahan itu yang salinannya dimiliki Katadata. Misalnya, dalam akta yang ditandatangani pada 4 Agustus 2010 itu terlihat alamat PT Pesona Sentra Utama dan PT Mahameru memiliki lokasi yang sama yaitu di Globe Building, Jalan Warung Buncit Raya Kavling 31, Jakarta. Gedung perkantoran tujuh lantai ini ditengarai milik Riza Chalid.
Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan perseroannya memang menyewa banyak kapal untuk mengangkut minyak atau gas. Hanya, Ahmad mengaku tak ingat satu-persatu nama kapal yang dirental Pertamina, termasuk keenam kapal tersebut. “Saya tidak hafal, tapi banyak yang kontraknya jangka panjang sehingga saya hanya bisa menekan menurunkan harga saja,” kata Ahmad kepada Katadata, Selasa, 5 Januari 2015.
Karena itu, dia pun menyatakan tak tahu dengan persis mengenai kepemilikan perusahaan yang memenangkan tender. Termasuk kemungkinan ada kapal yang dimiliki Riza Chalid melalui anaknya. “Bisa saja antara yang tertulis dengan kenyataan beda. Sulit lihat tertulis di akte semua, banyak orang punya perusahaan tapi pakai nama orang,” ujarnya.
Seorang mantan petinggi Pertamina mengatakan bisnis Riza memang menggurita ke sejumlah lini. Selain penyewaan kapal dan impor minyak yang sudah lama dijalaninya, “Dia juga merambah ke sektor hulu migas,” katanya.