KERIBUTAN soal impor beras selalu saja hadir. Seolah mengikuti siklus musim paceklik yang terjadi setiap Oktober hingga Desember. Kali ini dipicu oleh keputusan pemerintah pada 12 Januari lalu untuk mendatangkan beras dari luar negeri sebanyak 500 ribu ton.

Kebijakan itu didasari oleh harga beras yang terus naik. Harga beras medium yang terus merangkak naik sejak Agustus lalu, bahkan sudah di kisaran Rp 11 ribu per kilogram (kg) di akhir tahun. Padahal harga eceran tertinggi yang dipatok Kementerian Perdagangan hanya Rp 9.450 per kg (untuk Jawa).

Fakta lain yang mengkhawatirkan adalah kian tipisnya stok beras di Perum Bulog yang hanya berkisar 994 ribu ton. Ini di bawah batas aman 1 juta ton.

Rekomendasi FAO menyebutkan, setiap negara perlu memiliki iron stock pangan pokok (staple food) sebesar 2,5-3,5 persen dari total konsumsi. Dengan konsumsi sekitar 32 juta ton beras per tahun, maka iron stock Indonesia seharusnya 800 ribu-1,12 juta ton.

Studi Universitas Gadjah Mada (UGM) juga pernah menyimpulkan, untuk negara seluas Indonesia dengan gudang Bulog yang tersebar di berbagai pelosok, dibutuhkan stok beras pemerintah 750 ribu-1,3 juta ton.

Stok beras Bulog dibutuhkan untuk dua kepentingan. Pertama, sebagai iron stock atau cadangan beras pemerintah untuk mengantisipasi bencana dan kebutuhan operasi pasar untuk stabilisasi harga.

Kedua, sebagai operational stock untuk penyaluran beras sejahtera (Rastra) bagi rakyat miskin. Dengan jumlah 15,5 juta keluarga miskin yang masing-masing mendapat jatah 15 kilogram beras, maka setiap bulannya Bulog harus bisa menyiapkan 232 ribu ton beras Rastra.

Adapun konsumsi beras rakyat Indonesia per bulannya sekitar 2,6 juta ton. Ini berarti, cadangan sebesar 994 ribu ton itu hanya akan cukup untuk konsumsi 11 hari. Rencana impor beras 500 ribu ton itu pun hanya setara dengan seperlima kebutuhan konsumsi beras sebulan.

Dalam konteks untuk memperkuat cadangan inilah, sesungguhnya kebijakan impor beras perlu dipahami. Persoalannya, publik dibingungkan oleh sinyal berbeda yang disuarakan oleh Kementerian Pertanian.

Institusi ini menyebutkan, produksi beras sepanjang tahun lalu meningkat, bahkan akan surplus sekitar 7-8 juta ton setelah dipotong kebutuhan konsumsi beras. Panen raya pun akan dimulai pada akhir Januari dan berpuncak pada Maret mendatang.

Tak mengherankan berbagai pertanyaan kemudian muncul. Jika beras berlimpah dan surplus, kenapa harus impor? Spekulasi liarpun berkembang. Jangan-jangan ini hanya ulah para pemburu rente untuk mengumpulkan fulus di tahun politik?

Siklus Berulang

Suara lonjong di kabinet yang memicu kontroversi impor beras sesungguhnya bukan hal baru. Kejadian sekarang ini seperti memutar ulang “film” yang tayang pada 2006—juga pada 2011. Hanya saja lakonnya berbeda.

Saat itu, keriuhan merebak setelah pada 6 Januari 2006 Menteri Perdagangan Mari Pangestu memberi izin kepada Bulog untuk mendatangkan beras asal Vietnam sebanyak 110 ribu ton.

Keputusan impor diambil karena stok beras di gudang Bulog saat itu tinggal 868 ribu ton. Angka ini jauh lebih rendah dari dua tahun sebelumnya dan di bawah batas aman 1 juta ton. Sementara, harga beras sudah naik di atas harga patokan pemerintah.

Protes langsung meruyak. Kondisi diperparah dengan suara pemerintah yang terbelah. Menteri Pertanian Anton Apriantono punya pendapat berbeda.

Menurut dia, produksi beras nasional setelah dikurangi konsumsi masih surplus 2,1 juta ton. Data sebaliknya dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) yang justru menyebutkan bahwa Indonesia dibayangi defisit beras 650 ribu ton.

Untuk menengahi perbedaan itu, maka dilakukan penghitungan ulang oleh Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan beranggotakan 13 menteri, plus Kepala Bulog. Hasilnya, memang terdapat defisit 25 ribu ton.

Namun, alasan ini tak serta-merta bisa diterima. Penolakan terjadi diberbagai daerah. Sembilan kepala daerah bahkan tak mengizinkan kapal pengangkut beras impor merapat di wilayahnya. Para politisi di Senayan pun bermanuver membentuk panitia hak angket beras.

Fenomena saat itu boleh dibilang nyaris serupa dengan saat ini. Dan jika persoalan ini tak dikelola dengan baik, bukan tak mungkin pada akhirnya juga akan menyulitkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai tampak. Suara penolakan di DPR dan daerah mulai muncul.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami