Tak perlu waktu lama bagi Presiden Joko Widodo untuk menyetujui usul Darmin Nasution terkait aturan impor garam. Pada Kamis dua pekan lalu (15/03/2018), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini melayangkan satu draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

Pada hari itu juga, Jokowi, demikian Presiden kerap disapa, membubuhkan tanda tangan atas rancangan aturan tersebut yang kemudian diberi nomor sembilan. Sehari kemudian, mantan Wali Kota Solo ini meningggalkan Jakarta menuju Sydney, Australia untuk menghadiri ASEAN-Australia Special Summit 2018.

Advertisement

Keputusan Jokowi itu merupakan salah satu langkah tercepat yang pernah diambil. Berkaca ke beberapa aturan yang lain, Presiden butuh waktu cukup lama untuk menabalkan sebuah peraturan pemerintah (PP). Misalnya, PP pembentukan induk usaha (holding) sektor migas baru diterbitkan setelah rancangannya masuk meja Presiden satu bulan lebih.

Karenanya, tak sedikti dari publik yang bertanya-tanya atas kebijakan tersebut. Sebegitu gentingkah situasi kala itu sehingga Presiden bergegas mengeluarkan payung hukum mengenai tata niaga impor ini? “Saya belum dapat informasi soal itu. Nanti saya cari infonya,” kata Juru Bicara Presiden, Johan Budi SP melalui pesan Whatsap kepada Katadata.

Seorang sumber mengatakan, langkah cepat Presiden ini untuk merespons hiruk-pikuk kebutuhan garam. Sejumlah industri makanan dan minuman mengeluhkan pasokan bahan baku garam impor yang makin menipis. Bahkan, beberapa perusahaan lain melaporkan sudah menghentikan sementara produksinya karena kehabisan garam industri. (Baca: Stok Garam Menipis, Pabrik Garuda Food Terancam Berhenti Beroperasi).

Mendengar keresahan di kanan-kiri dari para pelaku usaha, Jokowi memerintahkan para menteri yang mengurusi komoditas ini untuk segera membenahinya. Perintah itu didistribusikan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini lalu menghubungi sejumlah sejawatnya di kabinet, termasuk Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Berhubung Susi masih di Boston dalam kunjungan kerja ke Amerika Serikat, Pratikno mengirim pesan Whatsapp pada Senin, 12 Maret 2018. Isinya agar menyelesaikan masalah impor garam yang dibutuhkan industri aneka pangan. Salah satu dasarnya yaitu laporan Menteri Perindustrian Airlangga Hartatrto ke Presiden. Sementara Kementerian Kelautan juga mendapat surat keluhan dari Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) empat hari sebelumnya.

Pada hari berikutnya, Kemenko Perekonomian menyebar undangan untuk rapat pembahasan Rancangan PP Impor Garam. Ada tujuh kementerian yang diundang, di antaranya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, dan Sekretariat Kebinet. Lalu Kementerian Perindustrian, Kelautan, dan Perdagangan. (Baca juga: Industri Kritis, Pemerintah Segera Keluarkan Aturan Impor Garam).

Seorang pejabat Kementerian Kelautan mengatakan undangan tertulis baru diterima Rabu, 14 Maret 2018. Susi yang masih di Amerika diwakili Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti. Dalam pertemuan tersebut, Brahmantya menyampaikan akan melaporkan terlebih dahulu draf RPP kepada Susi. Dia juga tidak setuju atas sebagian isi RPP terutama karena draf impor komoditas tidak hanya mencakup garam, juga terkait perikanan.

Lalu pada Kamis, 15 Maret 2018, Kementerian Kelautan menerima undangan rapat koordinasi terbatas mengenai pemenuhan kebutuhan garam industri melalui Whatsapp, hari ketika Presiden Jokowi meneken PP Nomor 9 tentang Impor Garam. Undangan tertulis baru diterima sehari kemudian, beberapa jam sebelum rapat digelar. (Baca pula: Akhiri Kemelut Impor Garam Industri, Ini Isi PP yang Diteken Jokowi).

Brahmatya pun mempermasalahkan keluarnya PP tersebut. Dia keberatan terhadap proses terbitnya PP yang dirasa tergesa-gesa. Brahmatya juga menyampaikan bahwa data izin impor yang tertuang dalam PP sebesar 2,37 juta ton tak sesuai dengan rekomendasi awal yang disampaikan kementeriannya sebanyak 1,819 juta ton. Banjir impor garam ini dikhawatirkan membuat nasib pahit bagi petambak karena harga garam lokal bisa jatuh.

Munculnya angka impor garam termuat dalam Pasal 7 huruf (a). Di sana disebutkan, “Izin Impor Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan bahan penolong Industri yang telah diterbitkan pada 2018 oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan berdasarkan jumlah yang telah ditetapkan sebesar 2.370.054,45 ton dapat dilaksanakan dan dinyatakan berlaku mengikat.”

Hingga berita ini diturunkan, Brahmantya belum menjelaskan kabar tersebut. Dia tidak merespons pesan Whatsapp yang dikirim Katadata.

Saling Klaim Keabsahan Data Garam Industri

Perbedaan data kebutuhan garam ini yang sering menjadi silang sengketa. Bahkan di kabinet, suara berseberangan hampir selalu mencuat dalam rapat-rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman atau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Perdebatan kerap berputar ketika menentukan jumlah impor garam.

Kisruh ini bermula dari cara menghitung tingkat konsumsi garam. Secara sederhana, peruntukan garam ada dua jenis: garam konsumsi publik, yang biasa dikenal dengan garam rumah tangga atau garam dapur; dan garam industri untuk memenuhi kebutuhan sektor pengolahan mulai dari pabrik makanan-minuman, pulp dan kertas, hingga farmasi. Kandungan NaCl pada garam konsumsi cukup 94,7 persen dan garam industri minimal 97 persen.

Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) pernah mengumumkan bahwa konsumsi garam secara nasional pada 2016 mencapai 4,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, 780 ribu ton untuk memenuhi garam dapur dan sekitar 3,3 juta ton sebagai bahan baku industri. Produksi garam nasional kala itu cuma 144 ribu ton yang hanya bisa menambal kebutuhan garam dapur.

Halaman:
Reporter: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement