Kasus raibnya tiket AirAsia dari lapak beberapa agen perjalanan online atau dalam jaringan (daring) memantik kecurigaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Badan anti monopoli tersebut kemungkinan tak hanya mendeteksi potensi praktik persaingan usaha tidak sehat, tetapi juga menelusuri keterkaitan kasus AirAsia dengan dugaan kartel di bisnis transportasi udara.

Hal ini bisa membuka "black box" (kotak hitam) kondisi bisnis penerbangan di Tanah Air saat ini.

Advertisement

Komisioner KPPU Kodrat Wibowo yang mengungkapkan rencana memanggil AirAsia, Traveloka, dan Tiket.com, Kamis (21/3) lalu. Sebab, pemberitaan yang berkembang di media soal hilangnya tiket AirAsia dari dua online travel agent tersebut bergerak semakin liar. Karena itu, sebagai proses awal, KPPU berinisiatif memanggil ketiganya.

Kasus ini berawal ketika manajemen AirAsia menarik seluruh penjualan tiketnya dari Traveloka, sejak 4 Maret lalu. Penyebabnya,  dalam dua minggu terakhir, tiket maskapai asal Malaysia ini kerap tidak tersedia di Traveloka. Pencabutan tak hanya berlaku untuk Indonesia, tapi juga untuk seluruh tiket grup AirAsia seperti Malaysia, India, Jepang, Thailand, dan Filipina.

Raibnya tiket AirAsia di Traveloka yang cukup lama terjadi pada 14-17 Februari 2019. Ketika itu, Traveloka beralasan sedang meningkatkan sistem pemesanan pada situsnya. Namun, tiket AirAsia kembali hilang untuk yang kedua kalinya di Traveloka tanpa penjelasan pada 2 Maret lalu.

Menurut Direktur Utama AirAsia Indonesia Dendy Kurniawan, pihaknya sudah 5 kali mengirim surat ke Traveloka mempertanyakan masalah tersebut. Namun, tak kunjung mendapatkan jawaban yang jelas.

Ketika dihubungi pelanggan, alih-alih merekomendasikan untuk mengakses laman resmi maskapai yang bermarkas di Kuala Lumpur tersebut, Traveloka justru mengimbau pelanggannya memesan tiket dari maskapai lain. Hal ini menciderai kerja sama bisnis di antara kedua pihak.

Traveloka mengklaim kedua pihak tengah melakukan dialog untuk mencari solusi terbaik. Public Relation Director Traveloka Sufintri Rahayu menyatakan, perusahaannya akan memprioritaskan pengguna. “Kami memberikan alternatif pilihan maskapai yang lengkap dan beragam."

Tak cuma itu, AirAsia mengaku mengalami masalah serupa dengan Tiket.com. Selain itu, ada 15 agen perjalanan daring lainnya yang kini sudah tak lagi menjual tiket AirAsia. Menurut Dendy, keputusan itu diambil sepihak oleh pihak agen perjalanan daring.

Kartel harga tiket

Di sisi lain, KPPU tengah menyelidiki kasus lain terkait bisnis penerbangan di Indonesia, yaitu kartel harga tiket pesawat. Sejak awal tahun, harga tiket pesawat melambung dari yang semula ratusan ribu rupiah menjadi di atas Rp 1 juta hingga mendekati Rp 2 juta. Harga tiket Palangkaraya-Jakarta misalnya, yang dulu sekitar Rp 400.000-Rp 600.000, kini sekitar Rp 1,2 juta-Rp 1,4 juta.

Pada awal tahun ini, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuding adanya kartel tersebut. Ia menduga mahalnya tiket rute dalam negeri disinyalir buah dari persekongkolan pelaku industri penerbangan nasional yang jumlahnya sudah masuk "de facto oligopoli".

Indikasi oligopolistik tercermin dari makin sedikitnya pelaku usaha penerbangan berjadwal di tanah air. Dengan akuisisi Sriwijaya Air oleh Garuda Indonesia, praktis seluruh maskapai penerbangan domestik yang ada terpusat di dua grup: Garuda dan Lion Air. Yang ketiga adalah AirAsia.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, struktur pasar industri penerbangan saat ini sesungguhnya sudah oligopoli dengan tingkat konsentrasi pasar Garuda dan Lion mencapai 96 persen. Teorinya, makin sedikit pemain, makin mudah menjalankan praktik oligopoli.

Indikasi praktik oligopoli terlihat dari harga tiket pesawat yang nyaris seragam. Waktu menaikkan dan menurunkan harganya juga kerap bersamaan.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement