Pemerintah berencana membenahi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), termasuk di dalamnya Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan janji penyelamatan itu di depan anggota parlemen.
“BPJS Kesehatan dan JKN akan dibenahi secara total,” katanya saat membacakan Nota Keuangan 2020 pada Jumat lalu (16/8) di Gedung Parlemen, Jakarta.
Sejak berganti nama dari PT Askes dan resmi beroperasi pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan langsung kena sakit kronis. Berkali-kali badan hukum publik ini masuk perawatan intensif. Tapi bukannya sembuh, malah makin parah. Kondisi keuangannya terus defisit.
Pemerintah kerap menyuntikkan dana. Namun, ibarat besar pasak daripada tiang, pendapatan iuran yang diperoleh selalu lebih kecil dari klaim yang harus dibayarkan. BPJS Kesehatan tak mampu membenahi kinerja keuangannya.
Kondisinya sekarang kritis. Tahun ini defisitnya mencapai Rp 28 triliun. Angka itu merupakan yang terbesar sejak lima tahun terakhir, seperti terlihat dari grafik Databoks berikut.
Kementerian Keuangan turun tangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melakukan penambahan anggaran JKN sebesar 83% tahun depan menjadi Rp 48,8 triliun dibandingkan tahun ini.
Ia mengakui lonjakannya sangat signifikan. Hal ini untuk mengantisipasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan, khususnya yang ditanggung oleh pemerintah.
Rencana untuk menaikkan iuran itu tampaknya sudah di depan mata. Pemerintah sedang menyiapkan peraturan presiden (Perpers) dan semua kelas iuran akan naik, termasuk peserta mandiri alias bayar sendiri.
Tujuannya kenaikan itu agar beban defisit BPJS Kesehatan berkurang. “Ini sedang digodok dan akan ditetapkan,” kata Sri Mulyani pekan lalu.
Upaya pengurangan defisit juga akan diiringi perbaikan berbagai kebijakan. BPJS Kesehatan diharapkan melakukan perbaikan manajemen database peserta, perbaikan sistem pelayanan, sinergi antara penyelenggara jaminan sosial, dan pengendalian biaya operasional.
(Baca: Pemerintah Kaji Opsi Pembenahan Total BPJS Kesehatan)
Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik
Seumur hidupnya, iuran BPJS Kesehatan baru naik satu kali. Tepatnya pada 1 April 2016. Kenaikan itu tertuang dalam Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan.
Tarif terendah atau Kelas III berubah dari Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu. Lalu, Kelas II semula Rp 42.500 menjadi Rp 51 ribu. Terakhir, Kelas I dari Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu.
Seharusnya, besaran iuran ini dapat ditinjau atau disesuaikan paling lama dua tahun sekali. Regulasinya termuat dalam Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan aturan perubahannya, Perpres Nomor 82 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, pada 2018 iuran itu tak mengalami perubahan. Padahal, tahun sebelumnya biaya pelayanan rumah sakit yang dikeluarkan perusahaan sudah mencapai Rp 41.240 per orang. Sementara, iuran rata-rata per orang hanya Rp 34.766. Artinya, ketika itu, BPJS Kesehatan harus nombok Rp 6.474 per orang.
(Baca: Tutup Defisit Anggaran, Iuran BPJS Kesehatan Naik Untuk Semua Kelas)
Mengutip dari Antara, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, perusahaan memang menginginkan penyesuaian iuran kepesertaan itu. Dari hasil perhitungan aktuaria dan rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), kenaikan iuran tahun ini seharusnya mencapai Rp 16.500 hingga Rp 40 ribu.
Soal besarannya, Fachmi menegaskan tidak ikut campur. BPJS Kesehatan hanya menyodorkan data mengenai jumlah pengeluaran yang dibutuhkan. “Yang mengusulkan DJSN, tapi apakah kami terlibat? Tentu tidak,” katanya pada Kamis lalu.
Faktor lain yang juga membuat defisit itu adalah mayoritas peserta mandiri menunggak iuran. Banyak juga kejadian peserta baru mendaftar setelah masuk rumah sakit. BPJS Kesehatan harus menanggung biaya kesehatannya, meski peserta ini hanya membayar iuran satu kali.
Dari sisi pengeluaran pun terjadi masalah pada jumlah tagihan. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam audit BPJS Kesehatan untuk tahun anggaran 2018 menemukan kejanggalan itu.